Popular Posts

Wednesday, November 16, 2016

Fiqih Keluarga Muslim - Kriteria Memilih Pasangan Suami Istri

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk generasi atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan karunia berupa pernikahan untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan itu pulan akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar jika pernikahan dikatakan wajar pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa dan sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu arti pernikahan?
2.      Apa saja Dasar hukum menikah menurut Al-Qur’an dan Hadits?
3.      Bagaimana Kriteria memilih pasangan suami atau pun istri menurut pandangan Islam?
C.    Tujuan Penulis
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Keluarga Muslim, dan selain itu dengan membuat makalah ini maka kami mengetahui apa arti pernikahan serta dasar-dasar yang ada dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Lebih utamanya alam makalah ini yaitu kriteria memilih pasangan suami ataupun istri.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Arti Pernikahan
Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
Adapun nikah menurut syari’at nikah juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja. Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalah pun, dalam kehidupan ini, yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karna tidak mengikuti sunnah rosul. Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu   laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad.
Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi bagi orang tuanya.
B.     Dasar Hukum Nikah
a.      Dasar hukum dalam Al-Quran
  • “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32)
  • Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
  • Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).
  • Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu : Surga) (Qs. An Nuur (24) : 26).
  • ..Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..(Qs. An Nisaa’ (4) : 3).
b.      Dasar hukum dalam Hadits
  • Anjuran-anjuran Rasulullah untuk Menikah : Rasulullah SAW bersabda: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !”(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).
  • Dari Aisyah, “Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu¡¨ (HR. Hakim dan Abu Dawud).
  • Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihat.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).
  • “Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim)
  • “Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
  • Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak (HR. Abu Dawud).
  • Rasulullah SAW. bersabda : “Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari).
  • Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhori-Muslim)
  • “Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda : Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
C.    Memilih Pasangan Suami – Istri Menurut Pandangan Islam
Setelah kita mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Muslim atau Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih pasangannya hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.
Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:
1.      Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)
Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير
“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.
Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)
2.      Al Kafa’ah (Sekufu)
Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)
Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)
Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?
3.      Menyenangkan jika dipandang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita sholihah yang salah satunya,
وان نظر إليها سرته
“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih)
Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنظرت إليها قال لا قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئا
“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)

4.      Subur (mampu menghasilkan keturunan)
Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,
تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)
Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
ü  Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami
Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:
عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏
“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.
Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تعس عبد الدينار، والدرهم، والقطيفة، والخميصة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط لم يرض
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).
Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki.
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)
ü  Kriteria Khusus untuk Memilih Istri
Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:
a.      Bersedia taat kepada suami
Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)
Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)
Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.
b.      Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya
Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤسهن كأسنة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا
“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang, kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki, dll.
Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.
c.       Gadis lebih diutamakan dari janda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عليكم بالأبكار ، فإنهن أعذب أفواها و أنتق أرحاما و أرضى باليسير
“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)
Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti  sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)
d.      Nasab-nya baik
Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.
Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.
Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Me-nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.
Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari kejadian ini.
Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.
Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
إذا هم أحدكم بأمر فليصلِّ ركعتين ثم ليقل : ” اللهم إني أستخيرك بعلمك…”
“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan



















DAFTAR PUSTAKA

Dr. Achmad Kuzari,  Nikah Sebagai Perikatan. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 1995
http://islamdiaries.tumblr.com/post/31911406977/memilih-pasangan-idaman-menurut-sunnah-rasulullah


Makalah Landasan Historis Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Selama ada kehidupan di dunia, selama itu pula perlu adanya pendidikan. Kondisi pendidikan di setiap negara berubah-ubah tergantung masa atau zamannya, termasuk di Indonesia. Kondisi pendidikan di Indonesia terus berkembang dari waktu ke waktu. Baik dari zaman purba, hingga sampai saat ini. Perkembangan pendidikan dipengaruhi banyak hal. Dalam pelaksanaan pendidikan, tentunya muncul berbagai permasalahan, baik masalah sederhana hingga masalah yang serius.
Tidak hanya sejarah militer dan politik saja yang dapat diteliti dan ditulis. Pendidikanpun ada historis/ sejarah yang mencatatnya. Untuk itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Landasan Historis Pendidikan di Indonesia. Yang menjelaskan perkembangan pendidikan di Indonesia dari masa ke masa.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan dari makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Landasan Historis Pendidikan?
2. Bagaimana pendidikan zaman purba sampai dengan zaman kolonial Belanda?
3. Bagaimana pendidikan kaum pergerakan kebangsaan/ nasional ?
4. Bagaimana sistem pendidikan nasional berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003
C.    Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui konsep, sistem, dan perkembangan pendidikan di Indonesia dari zaman purbakala hingga zaman modern saat ini, serta
2.      Untuk memenuhi tugas Presentasi kelompok dalam mata kuliah Landasan Pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Historis
Sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).
Sejarah menjadi sebuah acuan untuk mengembangkan suatu kegiatan atau kebijakan pada saat ini. Mempelajari sejarah sangatlah penting karena dengan mempelajari sejarah manusia memperoleh banyak informasi dan manfaat sehingga menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menentukan sebuah kebijakan dimasa yang akan datang.
Sedangkan pendidikan adalah sebuah proses yang arif, terencana dan berkesinambungan guna mendorong atau memotivasi peserta didik dalam mengembangkan  potensinya. Maka dari itu, yang dimaksud dengan landasan historis pendidikan adalah sejarah yang menjelaskan dasar-dasar pendidikan di masa lalu yang menjadi acuan terhadap pengembangan pendidikan di masa kini.

B.     Pendidikan Pada Zaman Purba Sampai Zaman Belanda
1.      Zaman Purba
Pendidikan pada zaman Purba, didominasi oleh peranan seorang ayah pada anak lelakinya dengan menurunkan kepandaian dan pengetahuan pada anaknya. Adapun pengetahuan yang diturunkan biasanya pengetahuan praktis seperti berburu, menangkap ikan dan memanjat pohon. Sedangkan ibu punya tugas mendidik anak perempuannya seperti memasak dan memelihara anak-anaknya. Jadi, konsep pendidikan pada zaman purba adalah konsep pendidikan keluarga. Selain ayah dan ibu, pada zaman purba juga ada yang dianggap guru.
1.      Empu, ia seorang yang dianggap punya pengetahuan dan kelebihan dalam bidang kerohanian maupun etika.
2.      Pandai besi, pandai besi kala itu juga dianggap sebagai seorang yang punya kelebihan dan kekuatan. Maklum zaman itu senjata tajam adalah alat utama dalam peradaban kala itu untuk bercocok tanam, berperang atau mempertahankan diri dari serangan kelompok lain.
3.      Dukun, dukun pada zaman itu juga dianggap orang punya kelebihan dan sangat di segani dan dihormati segala nasihatnya sangat di taati.
Tujuan pendidikan secara umum pada zaman purba adalah membentuk seseorang agar menjadi seorang yang berjiwa ''gotong royong'' dan membentuk manusia agar mempunyai kecakapan dalam hal beretika, ilmu berburu dan menangkap ikan.
Walaupun pada zaman ini belum di kenal istilah kurikulum, namun pendidikannya telah mencakup aspek kajian kurikulum, yakni meliputi pengetahuan, sikap dan  nilai mengenai kepercayaan melalui upacara-upacara keagamaan dalam rangka menyembah nenek moyang.
2.      Zaman Belanda
Pendidikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda diawali dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh VOC. Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Zaman VOC (Kompeni) Orang belanda datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Mereka di motifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun 1607. Sampai dengan tahun 1627 di Ambon telah berdiri 16 sekolah, sedangkan di pulau-pulau lainnya sekitar 18 sekolah (Tatang, 2010:197).
VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan untuk misi intelektualitas, adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan di pemerintahan dan gereja. Sekolah-sekolah utamanya didirikan di daerah-daerah yang penduduknya memeluk Katholik yang telah disebarkan oleh bangsa Portugis.
Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka yang sebelumnya telah dididik di Belanda. Kurikulum pendidikan pada zaman VOC berisi mengenai pelajaran membaca, menulis dan sembahyang. Tujuan didirikan sekolah-sekolah oleh VOC adalah untuk melaksanakan pemeliharaan dan penyebaran agama Protestant, maka dari itu guru yang diangkat adalah para pendeta. Adapun mengenai uraian rencana pelajaran tidak dibuat karena sekolah yang didirikan memiliki tujuan keagamaan bukan intelektualitas  Indonesia (Djumhur, 1976:116)
Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain:
1.      Minimnya partisipasi pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya diperuntukan bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari golongan priyayi
2.      Pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai rendahan (Tatang, 2010:198).
Tahun 1893 keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk bumi putera sebagai akibat dikeluarkannya  UU Agraris 1870. Kebijakan tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Indisch Staatsblad 1893, No 125 yang membagi sekolah Bumi Petera yaitu Sekolah Kelas I untuk golongan priyayi, sedangkan Sekolah Kelas II untuk golongan rakyat jelata. Isi rencana pelajaran disesuaikan dengan keharusan sekolah untuk mendidik calon-calon pegawai. Pada mata pelajaran tampak adanya penyesuaian dengan keperluan dan kebutuhan perkantoran seperti menggambar, berhitung, dan ilmu pertanian. Mata pelajaran menggambar dilaksanakan dengan cara memberi tugas menggambar peta-peta lapangan, mata pelajaran berhitung tidak terlepas dari soal-soal yang berhubungan dengan pemungutan pajak tanah, administrasi gudang-gudang garam dan kopi, membuat macam-macam daftar dan tata buku yang sederhana, sedangkan mata pelajaran ilmu pertanian diupayakan agar meningkatkan hasil kuantitas dan kualitas pertanian (Djumhur, 1976:124).
Pengajaran bumiputera pada sekolah kelas I memiliki tujuan memenuhi kebutuhan akan pegawai-pegawai pemerintah, perdagangan, dan perusahaan dengan lama waktu belajar lima tahun dan mata pelajaran yang diberikan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu mengukur tanah, sedangkan sekolah kelas II memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan pengajaran di kalangan rakyat umum dengan lama pendidikan tiga tahun. Adapun mengenai mata pelajaran yang diberikan adalah membaca, menulis, dan berhitung. Tahun 1914 Sekolah Kelas I diubah menjadi HIS (Holands Inlandse School) 6 tahun dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sedangkan Sekolah Kelas II tetap bernama demikan atau disebut Vervoleg School (sekolah sambungan) dan merupakan lanjutan dari Sekolah Desa yang pelaksanaan pendidikan terdiri dari tiga tingkat kelas yaitu Kelas I, Kelas II, dan Kelas III didirikan mulai tahun 1907 (Djumhur, 1976:124; Tatang, 2010:198; Komarudin, 2009:134).
Contoh kurikulum sekolah Desa di Aceh: Pada tingkat kelas I materi pelajaran yaitu membaca dan menulis bahasa melayu dan huruf latin, selain itu terdapat pula latihan bercakap-cakap dan berhitung dari angka 1 sampai dengan angka 20. Pada tingkat kelas II, materi pelajaran yang disampaikan ialah membaca dan menulis dengan huruf latin dan juga arab. Di kelas ini juga diperkenalkan materi dikte. Pada tingkat Kelas III mulai mengenal ulangan atau tes materi pelajaran yang dipelajari, demikian pula dengan berhitung sudah diatas 100, di kelas ini pun telah dikenalkan pecahan sederhana (Komarudin, 2009:134).

C.    Pendidikan Kaum Pergerakan Kebangsaan/ Nasional
Ditinjau dari istilah katanya “pergerakan” berasal dari kata dasar “gerak”. Di dalam bahasa Inggris pergerakan dapat diartikan movement. Kemudian istilah pergerakan ini digunakan dalam sejarah perjuangan bangsa, menjadi “pergerakan nasional” yang identik dengan “kebangkitan nasional”. 
Pergerakan nasional adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kaum penjajah yang dilaksanakan tidak dengan menggunakan kekuatan bersenjata, tetapi menggunakan organisasi yang bergerak di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Demikian halnya dengan pergerakan nasional yang terjadi di Indonesia.
Pergerakan nasional Indonesia yaitu perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme yang dilalui dengan mendirikan organisasi-organisasi yang bersifat nasional dan tidak terikat lagi dengan perjuangan fisik yang suporadis dan berbau kedaerahan maupun agama.
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yang orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008: 125-33).
1.      Pendidikan Pada Zaman Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.
Pada masa penjajahan Jepang kegiatan pendidikan dan pengajaran menurun akibatnya angka buta huruf meningkat. Oleh karena itu diadakanlah program  pemberantasan buta huruf yang di pelopori oleh organisasi Putera. Namun di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain:
1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda.
2.    Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat dikategorikan sebagai berikut :
1.      Sekolah Rakyat
Lama studi 6 tahun. Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.
2.      Pendidikan Lanjutan
Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. Sekolah guru terdiri dari  sekolah guru 2 tahun, sekolah guru 3 tahun dan sekolah guru lama pendidikannya 6 tahun

2.      Pendidikan Indonesia Periode tahun 1945-1969
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia datang silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saat itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan, bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik spiritual maupun material. Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S PKI pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup serta dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan pada masa kemerdekaan memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu:
1.      Kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja),
2.      Kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari),
3.      Kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan
4.      Kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun, keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah :
1.      Kesadaran beragama dan kebangsaan meningkat dengan pesat,
2.      Persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat.

D.    Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan UUD no 20 tahun 2003
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. (UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Pendidikan juga merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peseta didik agar dapat berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang. Sedangkan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasar kepada pencapaian tujuan pembangunan Indonesia. Sistem pendidikan nasional merupakan satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan terciptanya kesejahteraan umum dalam masyarakat.

Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada pancasila dan UUD 1945 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Sehingga penyelenggaraan sistem pendidikan nasional sesuai dengan kebutuhan pendidikan Indonesia secara geografis, demokrafis, historis, dan kultural berciri khas.
Sistem pendidikan nasional diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta di bawah tanggung jawab menteri pendidikan dan kebudayaan dan menteri lainnya. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional dilaksanakan melalui bentuk-bentuk kelembagaan beserta program-programnya.
Secara konsep sudah cukup bagus, mengarah ke pendidikan yang integral/ terpadu, meliputi semua aspek kepribadian (IQ, EQ dan SQ). Namun yang seringkali yang menjadi masalah adalah bagaimana implementasi di lapangan, di sekolah, dan di universitas. Bisa jadi jauh dari harapan. Keragaman SDM, lingkungan, sarana prasarana mungkin menjadi beberapa hal penyebabnya. Berikut beberapa  UU Sisdiknas:
1.      Pasal 1
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2.      Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

3.      Pasal 4
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
4.      Pasal 12
Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
5.      Pasal 25
Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
6.      Pasal 36
Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.       peningkatan iman dan takwa;
b.      peningkatan akhlak mulia;
c.       peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d.      keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e.       tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f.       tuntutan dunia kerja;
g.      perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h.      agama;
i.        dinamika perkembangan global; dan
j.        persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
7.      Pasal 68
Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
E.     Upaya Pembangunan Sistem Pendidikan Nasional
1.      Jenis Upaya Pembaruan Pendidikan
a.       Pembaruan Landasan Yuridis
Merupakan pembaharuan paling mendasar yang tertuju pada landasan Yuridisnya. Dikatakan demikian karena landasan Yuridis mendasari semua kegiatan pelaksanaan pendidikan dan mengenai hal-hal yang penting seperti komponen struktur pendidikan.
b.      Pembaruan Kurikulum
Ada dua faktor pengendali yang menentukan pembaruan kurikulum, yaitu yang sifatnya mempertahankan dan yang mengubah.
1.                  Faktor pertama
Landasan Filosofis, yaitu falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945 dan landasan historis.
2.                  Faktor kedua
1.      Landasan Sosial, berupa kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.
2.      Landasan Psikologis, yaitu cara peserta di dalam belajar.

c.       Pembaruan Pola Masa Studi
Pembaruan pola masa studi termaksud pendidikan yang meliputi pembaruan jenjang dan jenis pendidikan serta lama waktu belajar pada satuan pendidikan. Perubahan pola masa studi sebagai suatu tanda adanya pembaruan pendidikan berupa penambahan/ pengurangan. Perubahan pola tersebut, dilakukan dengan tujuan dan alasan-alasan tertentu.
d.      Pembaruan Tenaga Kependidikan
Yang dimaksud tenaga kependidikan adalah tenaga yang bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola serta memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Pembaruan terhadap komponen tenaga kependidikan dipandang sangat penting karena pembaruan pada komponen-komponen lain tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga pelaksana yang kompeten, tidak akan ada artinya. Tenaga lain selain guru adalah pustakawan, laboran, konselor, teknisi sumber belajar, dan lain-lain.

2. Dasar dan Aspek Legal Pembangunan Pendidikan Nasional.
Berupa ketentuan-ketentuan Yuridis yang menjadi dasar, acuan, serta mengatur penyelenggaraan pendidikan nasional, seperti Pancasila, UUD 1945, GBHN, UU organik pendidikan, Perda, dan lain-lain.
Program Utama Pembangunan Pendidikan
1. Perluasan dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan.
2. Peningkatan mutu pendidikan.
3. Peningkatan relevansi pendidikan.
4. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan.
5. Pengembangan kebudayaan.
6. Pembinaan generasi muda.






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari rangkaian sejarah yang menjadi landasan historis pendidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan mengembangkan individu peserta didik. Dalam arti memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami, dan demi kemajuan bangsa yang lebih baik. Sementara itu, pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Dengan demikian kami berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia. Bukan justru sebaliknya.
Hal ini dikarenakan pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan memajukan diri, agar tidak ketinggalan zaman, dan selalu berusaha menyongsong zaman yang akan datang.
B.     Saran
Sebagai calon pendidik atau orang yang akan berkecimpung dalam dunia pendidikan, sudah sepatutnya mengetahui dan memahami sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Landasan Historis Pendidikan. Dengan memahami historis tersebut, dimaksudkan agar calon pendidik beserta para instrument pendidikan lainnya, dapat menghindari kesalahan-kesalahan pada pendidikan yang terdahulu, sehingga tidak terulang kembali pada pendidikan yang akan datang. Sebaliknya, yakni dapat mempertahankan bahkan meningkatkan nilai-nilai pendidikan yang baik dan bermutu demi kemajuan pendidikan Indonesia. Dengan mewariskan, menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi pengawal, perantara, dan pemelihara peradaban.


DAFTAR PUSTAKA
Anzizhan, Syafaruddin (2004). Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Buchori, Mochtar (1995). Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Mudyahardjo, Redja (2008). Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Pidarta, Made (2007). Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.