Popular Posts

Sunday, February 23, 2014

Al-Qur'an dan Wahyu


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Firman Allah SWT dan warisan Rosulullah SAW yang tak akan pernah terhapus oleh masa adalah Al-qur’an dan Al-hadits, dengan mengetahui sejarah perkembangan Al-qur’an serta pengertian dan sifat-sifatnya juga perbedaan Al-Qur’an dan Hadits menjadi sesuatu yang luar biasa dalam ajaran umat islam, sehingga kita umat islam bisa mengetahui bagaimana perjuangan para syuhada’ yang telah merawat dan menjaga Al-qur’an pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in.
 Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui  Malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari di kota Mekkah dan Madinah. Pada waktu turunnya Al-qur’an, Bangsa Arab hanya sedikit diantara mereka bisa menulis dan membaca, pada masa itu juga mereka belum mengenal “Alqirthas” yang berarti “kertas” melainkan mereka menggunakan batu, kelopak kurma dan kulit binatang untuk menulis Al-qur’an.
          Walaupun Bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pada pujangga, peristawa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata.
Dan juga dengan mengetahui definisi wahyu dan cara penurunannya wahyu, menjadu suatu yang luar biasa karna kita sebagai umat islam mengetahui bagaimana cara Nabi Muhammad Saw diturunkan wahyu oleh Allah Swt.
B.    Rumusan Masalah
1.       Bagaimana Sejarah Perkembangan Al-Qur’an dari masa ke masa?
2.       Apa Definisi dan Sifat-sifat Al-Qur’an?
3.       Apa perbedaan Al-Qur’an dan Hadits?
4.       Apa yang dimaksud dengan Wahyu dan bagaimana cara penurunannya?

C.    Tujuan Penulisan
Dengan menulis makalah ini kita mengetahui Sejarah Perkembangan Al-Qur’an serta pengertian dan Sifat-sifat Al-Qur’an yang sebelumnya kita ketahui. Dan juga dapat mengetahui perbedaan Al-Qur’an dan Hadits. Wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw pun dapat kita ketahui dari sumber-sumber penulisan ini.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Ilmu Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya
a.    Ilmu Al-Qur’an

Kitab suci Al-Quran sebagai pedoman umat Islam dengan kesusasteraan bermutu tinggi harus dipahami dengan benar. Hasbi Ash-Shidieqi menyatakan untuk dapat memahami Al-Quran dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang disebut Ulumul Qur”an.[1]
`Ulum Al-Qur'an berasal dari bahasa Arab, terdiri dari dua kata, yaitu : 'ulum (jamak dari  ilmu) dan Al-Qur'an. Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi mendefinisikan ‘ulum Al-Qur'an sebagai ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur'an dari aspek turunnya, sistematikanya, pengumpulan dan penulisannya, bacaan-bacaannya, tafsirnya, kemukjizatannya, nasikh mansukh, dan lain-lain. Ulama ulama lain seperti Al-Zargani, Manna'al-Qaththan, Subhi al-Sholih, dan lainnya juga mendefinisikan ilmu Al-Qur'an sebagai ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan informasi tentang asbab al-nuzul, kodifikasi dan tertib penulisan, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah maupun Madinah, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur'an.
Dari beberapa pendapat disimpulkan bahwa ulum Al-Qur'an merupakan ilmu yang membahas segala hal ihwal yang berkaitan dengan Al-Qur'an. Ilmu-ilmu itu baik bersifat teoretis atau praktis, baik yang sudah dibahas atau yang belum, dan yang berkaitan dengan ayat-ayat quraniyah maupun kauniyah. Oleh karenanya pembahasan ulum Al-Qur'an sangat luas sekali, namun demikian sebagai halnya banyak dibahas dalam kitab-kitab ulum Al-Qur'an, para ulama lebih banyak menekankan pada pembahasan yang berakitan dengan teks al-Qur'an.
  1. Ruang Lingkup Ilmu Al-Qur'an
Ruang lingkup ilmu Al-Qur'an berkaitan dengan cabang-cabang ilmu Al-Qur'an. Para ulama sepakat menyatakan terdapat cabang-cabang terpenting, yakni :
·         Asbab al-nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat A-Qur'an)
·         I’jaz Al-Qur'an (ilmu tentang kemukjizatan Al-Qur'an)
·         Nasikh wa mansukh (ilmu tentang ayat yang menghapus dan dihapus hukumnya oleh ayat lain)
·         Ahkam Al-Qur'an (ilmu tentang hukum-hukum Al-Qur'an)
·         Fadlail Al-Qur'an (ilmu tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur'an)
·         Ta'wil Al-Qur'an (ilmu tentang takwil Al-Qur'an)
·         Al-muhkam wa al-Mutasyabih (ilmu tentang ayat-ayat yang jelas dan yang samar)
·         Tarikh Al-Qur'an wa tadwinnih wa naskhih wa kuttabih wa rasmih (sejarah Al-Qur'an dan pembukuannya, salinannya, penulis-penulisnya dan bentuk tulisannya)
·         I 'rab Al-Qur'an (ilmu tentang tata bahasa Al-Qur'an)
·         Al-Qira'at (ilmu tentang bacaan-bacaan Al-Qur'an) dan
·         Al-munasabah (ilmu tentang sistematika Al-Qur'an).[2]

c.    Sejarah Perkembangan Al-Qur’an
Al-Quran sendiri yang menyatakan bahwa keautentikan (orisinilitas) Al-Qur’an dijamin oleh Allah Swt sesuai dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al-Dzirk (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami jugalah yang benar-benar memeliharanya” (Qs. Al-Hijr (15) ayat 9)
Adapun sejarah pemelihraan Al-Qur’an itu sendiri secara global dan umum pada dasarnya dapat ditelusuri dari empat tahap besar yaitu: pencatatan Al-Qur’an di zaman Nabi Muhammad Saw, Penghimpunannya di zaman Abu Bakar as-Shiddiq, Pengandaan Al-Qur’an di zaman ‘Utsman ibn ‘Affan, pencetakan Al-Qur’an pada abad ke-17 Masehi.[3]

1.       Tahap pencatatan di zaman Nabi Muhammad Saw
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tempat diturunkannya Al-Qur’an tergolong kedalam bangsa yang buta aksara, tidak pandai membaca dan menulis. Kalaupun ada yang bisa baca dan tulis itu hanya beberapa orang saja dapat dihitung dengan jari. Nabi Muhammad Saw sendiri dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca dan menulis. Nabi Muhammad Saw adalah Nabi/Rasul yang ummi yang tidak pernah membaca dan menulis satu kitab apapun. Dan bangsa Arab yang pertama kali menerima Al-Qur’an adalah bangsa yang ummi, tidak mampu membaca dan menulis kecuali segelincir saja dari mereka. Karenanya, Al-Qur’an ayat yang pertama kali diturunkan itu surah Al-‘Alaq sebagai surat perintah membaca dan menulis.[4]
Kekuatan daya hafal bangsa Arab dalam hal ini para sahabat benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh nabi dengan memerintahkan mereka supaya menghafal setiap kali ayat Al-Qur’an diturunkan. Sementara yang pandai menulis yang dari waktu ke waktu semakin bertambah banyak oleh Nabi diperbolehkan mencatat Al-Qur’an setiap kali beliau menerima ayat-ayat Al-Qur’an. Pada zaman itu tercatatlah para hafizh dan hafizhah (pria dan wanita penghafal Al-Qur’an) serta katib(pencatat/penulis) Al-Qur’an yang sangat handal. Bahkan banyak juga dari kalangan mereka ada yang penulis sekaligus penghafal Al-Qur’an.
Sejarah mencatat bahwa dari sekian banyak penulis resmi ayat-ayat  Al-Qur’an yang diterima Rasul, dan kemudian disampaikannya kepada para sahabatnya, Zaid Ibn Tsabitlah yang paling profesional dan paling andal melakukannya. Dengan sangat cermat dan teliti, Zaid dan kawan-kawan selalu mencatat ayat-ayat Al-Qur’an dan menempatkan serta mengurutkannya teks-teks surat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk Nabi Saw. Mereka mencatat pada benda-benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis-menulis terutama pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit hewan, tulang-belulang, bebatuan dan lainnya yang diatasnya dapat digoreskan ayat-ayat Al-Qur’an.[5]

2.       Tahap Penghimpunan di Zaman Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq
Penghimpunan Al-Qur’an ke dalam satu mushhaf, baru dilakukan di zaman Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq, tepatnya setelah terjadi peperangan yamamah (12H/633M), dalam peperangan yamamah ini konon terbunuh sekitar 70-an orang syuhada dan penghafal Al-Qur’an dengan amat baiknya. Padahal, sebelum peristiwa yang mengenasi itu terjadi, telah pula meninggal 70 qurra’ lainnya pada peperangan disekitar sumur ma’unnah yang terletak didekat kota Madinah.
Abu Bakar membuat sebuah kegiatan, beliau mengangkat semacam panitia atau lajnah penghimpunan Al-Qur’an yang terdiri atas empat orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai berikut: Zaid Ibn Tsabit sebagai ketua, dan tiga orang lainnya yakni ‘Utsman Ibn ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab, masing-masing bertindak sebagai anggota. Himpuanan Al-Qur’an yang dilakukan Zaid Ibn Tsabit kemudian dipegang Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq hingga akhir hayatnya. Dan ketik kekhalifahan dipegang Umar Ibn al-Khaththab himpuanan Al-Qur’an pun beralih ke tangan Umar. Ketika Umar meninggal, dan kekhalifahan di jabat oleh ‘Utsman Ibn ‘Affan, tapi untuk sementara waktu himpuanan tersebut dirawat oleh Hafshah binti Umar karena dua alasan: pertama, Hafshah seorang hafizhah dan Kedua, dia juga salah seorang istri Nabi disamping anak seorang Khalifah.[6]

3.       Tahap Penggandaan di Zaman Khalifah Utsman Ibn Affan
Dalam menetapkan bentuk Al-Qur’an menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at ( cara membaca ) Al-Qur’an, perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an muncul dikalangan tentara tentara muslim yang sebagian direkrut dari siria dan sebagian lagi dari irak. Khalifah berumbuk dengan para sahabat senior nabi dan akhirnya menugaskan Zaid Ibn Tsabit “ mengumpulkan” Al-Qur’an. Bersama Zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga mekkah terpandang:  Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘ish dan Abd Ar-Rahma bin Al-harits.
Prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek quraisy  suku dari mana nabi berasal harus dijadikan pilihan. Al-Qur’an direvisi dengan nabi berasal dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan hafshah. Dengan demikian suatu naskah otoriatif ( absah ) Al-Qur’an disebut mushaf ‘Ustmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinan dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utana daerah islam.
‘Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf-mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[7]
b.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kemabli dihadapan nabi pada saat – saat terakhir.
c.      Kronologis surat dan ayat seperti yang sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman
d.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun
e.      Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan

4.       Tahap Pencetakkan Al-Qur’an
Pemeliharaan Al-Qur’an diturunkan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia tulis-menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan seperti buku-buku dan media cetak lainnya, Al-Qur’an pun pertama kali dicetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. Sejak itu Al-Qur’an terus menerus mengalami kemajuan yang sangat berarti, dinegara mayoritas bahkan minoritas sekalipun tidak ada yang tidak memiliki percetakan.
Lebih dari itu, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam lebih menyatakan diri sebagai negara Islam, mereka telah memiliki panitia khusus yang bertugas mentashhih setiap percetakan Al-Qur’an salah satunya di Indonesia. Satu hal menarik tentang penulis dan pencetakkan Al-Qur’an dialah bahwa Al-Qur’an ditulis/dicetak dalam berbagai bentuk dan ukuran, dengan cover/jilid yang beraneka ragam.[8]

5.       Pengajaran Al-Qur’an di Berbagai Dunia Islam
Seiring dengan kemajuan dunia cetak-mencetak Al-Qur’an, upaya pemeliharaan kesucian dan kemuliaan Al-Qur’an melalui sistem hafalan tetap dipertahankan hingga kini. Hampir tidak ada negara-negara Islam atau penduduk mayoritas bahkan minoritas sekalipun yang tidak mengupayakan lembaga pendidikan yang secara khusus membina dan mendidik para pelajarannya untuk menghafal Al-Qur’an.
Di Makkah, dan kota-kota lain dalam jazirah Arab umumnya, baik dengan maktab maupun madrasah serta darul ulum dan lain-lain, pelajaran Al-Qur’an termasuk penghafalan di dalamnya diajarkan sedemikian rupa. Demikian pula di Madinah di antaranya Madrasah Tahzib li Tahfizh Al-Qur’an al-Karim, yang didirikan pada masa Ibn Sa’ud dan diresmikan pada tahun 1935. Madrasah ini tentu telah melahirkan sekian banyak hafiz-hafizhah.
Di Mesir, sekolah-sekolah Awaliyah (setingkat madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar) diwajibkan menghafal Al-Qur’an kalau mereka hendak menamatkan pelajaran di sekolah-sekolah Alawiyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah Muslimin, maka hafal mereka tentang Al-Qur’an itu selalu diuji, sehinggan pelajar-pelajar lulusan sekolah Muslimintelah hafal Al-Qur’an seluruhnya dengan baik.
Demikian juga di sejumlah negara Islam yang lain semisal Pakistan, Siran, Iran, dan lain sebagainya termasuk di Indonesia. Di negara yang umat Muslimnya terbesar di seluruh dunia ini, pelajaran Al-Qur’an termasuk penghafalnya mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan muslimin senidiri maupun pemerintah Republik Indonesia. Keberadaan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an ( Institut PTIQ ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) keduannya di Jakarta, mengisyaratkan atusiasme umat Islam Indonesia bagi penghafal Al-Qur’an pada umumnya. Demikian pula dengan sejumlah Pondok Pesantren yang tersebar diberbagai daerah yang ada di Indonesia salah satunya Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Itqon yang terletak di Bogor yang mengkhususkan dirinya sebagai Pondok pesantren Al-Qur'an.
Lebih dari yang dikemukakan di atas, pelajaran Al-Qur’an tidak hanya terdapat di negara-negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam, tetapi juga dijumpai negara-negara yang penduduk muslimnya minoritas sekalipun seperti di Tiongkok, Jepang, Thailand, Australia, New Zeland, dan lain-lain.[9]  Apalagi pada tahun 2000-an ini dimana agama Islam telah merambah ke semua negara, maka pembelajaran Al-Qur’an termasuk penghafalannya dapat dikatakan telah merata di seluruh negara di dunia. Di antara bentuk hafalan yang dilakukan generasi muda Islam dewasa ini ialah melalui pengkhataman baca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dengan menjadikan shalat tarawih sebagai medianya. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa sejumlah masjid terutama masjid-masjid besar dewasa ini melaksanakan jamaah tarawih dengan menampilkan imam-imam yang hafizh atau calon-calon hafizh yang membacakan surat-surat Al-Qur’an secara tartil dengan cicilan satu juz untuk satu malam. Sehingga, dalam satu bulan sang imam dapat menamatkan bacaan Al-Qur’an dari juz pertama hingga juz ke-30.[10]





2.      Definisi dan Sifat-sifat Al-Qur’an serta Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadits
a.    Definisi Al-Qur’an

Para ahli ilmu Al-Qur’an pada umumnya berasumsi bahwa kata Qur’an terambil dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan – wa-qur’anan yang secara harfiah berarti bacaan. Sebagian ulama menegaskan bahwa kata Qur’an itu mashdar ( kata kerja yang dibendakan ) yang diartikan dengan isim maf’ul, yakni maqru’, artinya sesuatu yang dibaca. Maksudnya, Al-Qur’an itu adalah bacaan yang dibaca. Penamaan Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril.[11]
Perbedaan ulama dalam menelusuri asal-usul kata Al-Qur’an, mereka juga tidak seragam dalam memberikan definisi Al-Qur’an. Namun demikian, jika direnungi dengan seksama terdapat beberapa unsur Al-Qur’an yang disepakati oleh para pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an. Unsur-unsur Al-Qur’an yang dimaksud adalah :
Pertama, al-Qur’an adalah wahyu atau Kalam Allah Swt. Semua definisi yang diberikan ahli, selalu diawali dengan penyebutan Al-Qur’an sebagai Kalam atas Wahyu Allah.[12] Perhatikan misalnya definisi Al-Qur’an yang menurut Muhammad Ali al-Shabuni konon telah disepakati oleh para ulama khususnya para ulama fikih yaitu :
“Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan melalui perantara Malaikat Jibril, ditulis dalam berbagai mushhaf, dinukilkan kepada kita dengan cara tawatur ( mutawatir), yang dianggap ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas”.[13]
“ Al-Qur’an ialah wahyu Allah yang diturunkan dari sisi Allah kepada Rasul-Nya Muhammad Ibn “abd Allah , penutup para nabi, yang dinukilkan daripadanya dengan penukilan yang mutawatir nazham/lafal maupun maknanya, dan merupakan kitab sumawi yang paling akhir penurunannya”.[14] Sebagai wahyu Allah tentu saja Al-Qur’an mutlak bukan puitisasi para penyair ( pujangga), bukan mantera-mantera tukang tenung, bukan bisikan setan yang terkutuk, bahkan juga bukan sabda Nabi Muhammad Saw. Pendeknya, Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt, bukan perkataan selain Dia.
Kedua, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukan bahwa kalam atau wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi dan rasul Allah yang lain tidak dapat dinamakan Al-Qur’an. Sebab, seperti ditegaskan sebelum ini, Al-Qur’an adalah nama khusus yang diberikan Allah terhadap kitab suci-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Karenanya, kitab-kitab Allah yang lain seperti Zabur, Taurat dan Injil tidak boleh disebut sebagai  Al-Qur’an meskipun sama-sama wahyu dan orang yang menerimanya sama-sama nabi dan atau rasul Allah. Terlalu banyak disebutkan untuk disebutkan satu persatu ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.[15]
Ketiga, Al-Qur’an disampaikan melalui Malaikat Jibril. Semua ayat Al-Qur’an diwahyukan dengan perantaraan Malaikat Jibril. Memang ada segelintir pendapat ulama yang menyatakan bahwa sebagian Al-Qur’an diantaranya surat Al-Kautsar menurut mereka disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Secara langsung tidak melalui perantara Malaikat Jibril, tetapi pendapat ini selalu dibantah oleh banyak pihak.
Keempat, Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lafal Arab. Para ulama meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Allah Swt bukan semata-mata dalam bentuk makna halnya seperti Hadits Qudsi, akan tetapi juga sekaligus lafalnya. Perhatikan kata lafzhan wa ma’nan dalam definisi Al-Qur’an yang dikemukakan ‘Afif’ Abd Al-Fattah Thabbarah di atas. Demikian juga halnya dengan beberapa ta’rif Al-Qur’an yang diformulasikan para ahli Ilmu-Ilmu Al-Qur’an yang lain. Karena Al-Qur’an dan maknanya berasal dari Allah Swt, maka terjemahan Al-Qur’an dan bahkan tafsirnya yang dalam bahasa Arab sekalipun, tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an.
Terjemah Al-Qur’an bukanlah Al-Qur’an, demikian juga tafsir Al-Qur’an. Dan karenanya, berbeda dengan al-Hadits termasuk Hadits Qudsi yang boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya (riwayat bi al-ma’na), penyampaian Al-Qur’an tidak dibenarkan menggunakan terjemahan atau penafsirannya belaka. Itulah pulanya sebab mengapa terjemah dan tafsir Al-Qur’an selalu dilakukan lebih dahulu menyalinkan teks Al-Qur’annya yang asli (berbahasa Arab).
Dari keempat unsur Al-Qur’an diatas, dapatlah dikatakan bahwa Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bentuk lafal Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan hal-hal lain seperti dinukilkan kepada kita dengan cara mutawatir, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, serta ditulis dalam mushaf, itu menyangkut hal-hal yang bersifat teknis bagi penyampaian dan pemeliharaan Al-Quran.[16]

b.    Sifat-sifat Al-Qur’an
Seperti yang kita ketahui banyak sifat-sifat yang dimiliki Al-Qur’an, ada sifat-sifat Al-Qur’an ada juga nama-nama Al-Qur’an. Untuk nama-nama AlQur’an seperti yang pernah kita pelajari dimata kuliah yang berbeda, nama-nama Al-Qur’an yaitu Al-Kitab, Al-Furqan dan Al-Huda. Sedangkan sifat-sifat Al-Qur’an yaitu :
-          An-Nuur yang berarti cahaya, cahaya yang menerangi kegelapan. Al-Qur'an disifatkan sebagai nur (cahaya) karena ia memberikan cahaya keimanan kepada orang yang berada di dalam kegelapan serta kekufuran. Selain itu, Al-Qur'an juga menjadi cahaya yang menerangi jiwa orang yang selalu membacanya dan menghayati isi kandungannya. Seperti dalam surah An-nisa(4) ayat 174.
-          Al-Huda yang berarti petunjuk. Al- Qur'an disifatkan sebagai petunjuk karena ia menunjukkan jalan yang lurus kepada umat manusia. Seperti dalam surah Yunus(10) ayat 57
-          Al ‘Azhim mempunyai arti bahwa Allah adalah Dzat yang mencapai tingkatan yang paling puncak dari sifat agung, sehingga tidak bisa dibayangkan oleh akal dan tidak bisa diliput oleh mata batin. Atau, Dialah yang memiliki ketinggian, kemuliaan, dan kekuasaan yang tidak membutuhkan pembantu dan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Allah adalah Dzat Yang Mahabesar secara mutlak, lahir dan batin.
-          Al-Aziiz  yang berarti mulia, seperti dalam firman Allah Swt “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Alqur’an ketika Alqur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia“.   (Q. S. Fushshilat (41) : 41)
-          Al-Majiid yang berarti dihormati seperti dalam firman Allah “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Alqur’an yang dihormati‘.  (Q. S. Al-Buruuj ( 85) : 21)
Dan yang lainnya seperti Syifa’ yaitu obat, Rahmah yaitu rahmat, Mau’izhoh yaitu nasihat, Mubarak yaitu yang diberkahi, Basyir yaitu pembawa kabar baik, Nadzir yaitu pembawa kabar buruk, dsb.[17]

c.    Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadits
Hadits dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah daripada Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri.
Dari segi kekuatan dalilnya, Al-Qur’an adalah mutawatir yang qot’i, sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalil zhanni.  Sekalipun ada hadits yang mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya sedikit.
            Membaca Al-Qur’an hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam sholat, sementara tidak demikian halnya dengan hadits. Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.
Sedangkan hadits tidak demikian keadaannya, karena hadits qouli hanya sedikit yang mutawatir. Kebanyakan hadits yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-Qur’an merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya).
Hadits juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam Al-Qur’an seperti dalam hadits yang artinya :
Hadits dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapak yang perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R. Bukhari dan Muslim).[18]

3.      Pengertian Wahyu dan cara diturunkannya Wahyu
a.    Pengertian Wahyu

Wahyu terambil dari akar kata waha-yahi-wahyan yang secara harfiah berarti suara, api, kecepatan, bisikan, rahasia, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-Qur’an sendiri yang didalamnya tersebut 77 kali kata wahyu kebanyakan dalam bentuk kata kerja (fi’il) menggunakan kata wahyu untuk beberapa pengertian diantaranya :
a.      Wahyu dalam arti ilham (insting atau intuisi) seperti dalam Surah An-Nahl(16) ayat 68, surah Al-Qhashash(28) ayat 7
b.      Wahyu dalam arti perintah seperti dalam surah Al-Maidah(5) ayat 111
c.      Wahyu dalam arti bisikan atau bujukan seperti dalam Surah Al-An’am ayat 121
d.      Wahyu dalam arti isyarat seperti dalam Surah Maryam(19) ayat 11
Al-Wahyu selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi dalam istilah teknisi sehari-hari lebih banyak digunakan dalam arti ajaran Allah yang disampaikan dengan cepat dan rahasia kepada para nabi dan Rasul.
Menurut Syekh Muhammad Abduh Wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu berasal dari Allah Swt, baik penyampaiannya itu melalui perantara atau tidak.
Pengertian senada , dikemukakan al-Sayyid Rasyid Ridha yang memformulasikan wahyu dengan “Suatu ilmu yang dikhususkan untuk para nabi dengan tidak mereka usahakan dan tidak mereka pelajari. Wahyu ialah suatu pengetahuan yang mereka peroleh dalam dirinya dengan tidak berijtihad (lebih dahulu) yang disertai oleh suatu pengetahuan yang timbul dengan sendirinya dan yakini bahwa yang mencampakkan wahyu kedalam jiwa mereka ialah Allah yang Maha Kuasa. Pendeknya wahyu itu bukanlah suatu pengetahuan yang dapat dicari apalagi direkayasa, melainkan datang dengan sendirinya sebagai pengetahuan yang Allah berikan kepada orang-orang tertentu yang kemudian disebut dengan nabi dan atau Rasul-Nya.[19]

b.    Cara penurunan Wahyu
Menurut beberapa riwayat, wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw adalah bermaca-macam.
Pertama, Mimpi yang benar. Dan inilah wahyu yang pertama kali diterima Rasulullah Saw, sebelum beliau menerima wahyu Al-qur’an seperti diterangkan dalam riwayat : “Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata : Awal wahyu yang dimulai dengannya Rasulullah Saw ialah melalui mimpi yang benar diwaktu tidur, lalu waktu itu beliau tidak melihat dalam mimpinnya itu, kecuali seperti (terangnya) cuaca di waktu pagi”. Wahyu yang dalam bentuk mimpi yang benar ini ternyata tidak hanya terjadi pada masa-masa awal kenabian Muhammmad Saw, akan tetapi juga setelah beliau lama menjadi Nabi.
Kedua, Jibril menghembus (menghunjamkan) wahyu kedalam jiwa Nabi Muhammad Saw, sedangkan nabi sendiri tidak melihat Jibril.
Ketiga, Wahyu itu datang kepada Nabi Saw bagaimana gemerincingannya suara lonceng atau suara lebah dengan amat keranya. Wahyu dalam martabat inilah yang paling sedikit jumlahnya tetapi paling berat dirasakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam menerimanya.
Keempat, Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Saw dengan menjelma sebagai seorang manusia. Diriwayatkan bahwa Jibril pernah datang kepada Nabi dalam rupa Dlihyah Ibn Khalifah, seorang lelaki yang amat tampan rupanya.
Kelima, Jibril datang kepada Nabi dalam bentuk yang asli, kemudian Jibril menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi Saw seperti dalam AlQur’an Surah An-Najm(53) ayat 1-14. Macam penyampaian wahyu yang kelima ini sangat jarang dialami oleh Nabi. Menurut penjelasan Surah An-Najm, Nabi hanya dua kali melihat Jibril a.s dalam rupanya yang asli, yaitu ketika menerima wahyu Al-Qur’an yang pertama di Gua Hira dan ketika melakukan perjalanan malam Isra-Mi’raj di Sidrat al-Muntaha.
Keenam, Allah berbicara secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw secara langsung tanpa melalui malaikat Jibril sebagaimana Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa a.s. Nabi Muhammad Saw pernah berbicara langsung dengan Allah Swt pada malam hari di waktu beliau mi’raj seperti tersebut dalam riwayat  peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw yang amat populer.
Bentuk manapun penyampaian wahyu itu kepada para nabi umumnya dan Nabi Muhammad Saw pada khususnya, yang jelas penyampaian wahyu itu bersifat rahasia dalam arti hanya Allah dan Rasul yang tau hakikatnya. Sementara pada sisi yang  lain, kebenaran wahyu itu bisa diuji dan selalu teruji kebenarannya. Dengan kalimat lain, kebenaran mutlak wahyu khususnya wahyu Al-Qur’an, tidak dapat terbantah oleh siapa, kapan, dimanapun, Maha besar Allah dalam kalam-Nya:
Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang bakhil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu sesuatu yang pati lenyap (QS. Al-Isra(17) ayat 81).[20]























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Quran Al-Karim adalah kitab yang oleh Rasul Saw. Dinyatakan sebagai “Tali Allah yang terulur dari langit ke bumi. Didalamnya terdapat berita tentang umat masa lalu, dan situasi masa datang. Siapa yang berpegang dengan petunjuknya dia tidak akan sesat.” Kitab suci ini juga memperkenalkan dirinya sebagai hudan lil al-nas (petunjuk bagi seluruh umat manusia), sekaligus menantang manusia dan jin untuk menyusun semacam Al-Quran. Dari sini kitab suci kita berfungsi sebagai mukjizat (bukti kebenaran), sekaligus kebenaran itu sendiri.
Lima belas abad yang lalu, ayat-ayat Allah itu diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw. Menurut orientalis Gibb, “Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini, yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan yang demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad Saw, yakni Al-Quran.” Bahasanya yang demikian mempesonakan, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum, walau nalar sebagian mereka menolaknya.
Pemeliharaan Al-Qur’an diturunkan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia tulis-menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan seperti buku-buku dan media cetak lainnya, Al-Qur’an pun pertama kali dicetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. “Al-Qur’an ialah Kalam Allah (Wayu Allah) yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan melalui perantara Malaikat Jibril, ditulis dalam berbagai mushhaf, dinukilkan kepada kita dengan cara tawatur ( mutawatir), yang dianggap ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas”.

B.    Saran
Semoga kita tidak hanya memiliki mushaf Al-Quran, tetapi pandai juga membaca, memahami, dan mengamalkan tuntunannya. Aaamiin yaa rabbal ‘aalamiin…..






DAFTAR PUSTAKA

-          T.M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Cet. VII
-          Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers)
-          Al-Shalih, op,. Cit,.
-          Depaptemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Alquran, Jakarta, 1974.
-          Abu Bakar Aceh, Sejarah Al-Qur’an, (Ramdhani 1989)
-          Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an, (Damsyik-Syiria: Maktabah Al-Ghazali. 1401 H/1981 M)
-          Afif ‘Abd al-Fattah Thabbarah, Ruh ad-Din al-Islami, (Beirut-Lubnan: Dar al-‘Ilm li al-malayin t.t)
-          Pengantar Study Al-Qur’an (At-Tibyan) © Mohammad Aly Ash Shabuny Al-256.0.08.12_84_Hr
-          Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurah al-Ashar al-Hadis, Riyad, tt. Hal. 15-16.




[1] T.M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Cet. VII, H. 112
[2] Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurah al-Ashar al-Hadis, Riyad, tt. Hal. 15-16.
[3] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 45-46
[4] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 46
[5] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 48-50
[6] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 50-53
[7] Al-Shalih, op,. Cit,. Hlm 81
[8] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 56-57
[9] Uraian lebih lanjut tentang Al-Qur’an di berbagai negara, baca antara lain Abu Bakar Aceh, Sejarah Al-Qur’an, (Ramdhani 1989), hal 205-233
[10] Dibeberapa negara yang sempat penulis kunjungi di bulan Ramadhan, beberapa atau sejumlah masjid menyelenggarakan jamaan isya dan tarawih dengan beberapa imam (bergiliran), tetapi dengan melanjutkan bacaan surat yang bersifat konstinu dari surat Al-Baqarah sampai surat An-Nas
[11] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 20-21
[12] Terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu jumlah ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah Swt. Di antaranya ialah al-An’am(6) : 155, Al-Furqan(15):6, Aaz-Zumar(39):1, As-Sajadah(41):2, dan An-Najm(53):4
[13] Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an, (Damsyik-Syiria: Maktabah Al-Ghazali. 1401 H/1981 M), hal 6
[14] Afif ‘Abd al-Fattah Thabbarah, Ruh ad-Din al-Islami, (Beirut-Lubnan: Dar al-‘Ilm li al-malayin t.t), hal 18
[15] Perhatikan antara lain surat Al-An’am(6):19, Al-Dahr/al-Insan(76):23 dan An-Naml(27):6
[16] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 24-25
[17] Pengantar Study Al-Qur’an (At-Tibyan) © Mohammad Aly Ash Shabuny Al-256.0.08.12_84_Hr
[18] http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10147:hubungan-hadits-dengan-al-quran&catid=42:ulumul-hadits&Itemid=387
[19] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 81-83
[20] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 85-89



Untuk ayat Al-Qur'annya bisa langsung dari Al-Qur'an .
Dipresentasikan oleh : Puput, Zia, As'ad, Susi, Ilham, Lukman, Dimas, Yayah, Wulan, Khoir dan Aan pd tanggal 22 februari 2014 dalam Matakuliah : Pengantar Studi Al-Qur'an

1 comment:

  1. Casinos in the UK - How to find good games - GrizzGo
    So, what do we gri-go.com mean by “casinos kadangpintar in the UK”? to find a casino and live casino-roll.com casino games on a mobile phone 바카라 사이트 device in 2021.

    ReplyDelete