Popular Posts

Sunday, February 23, 2014

Sejarah Peradaban Islam di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah kita pelajari pada materi sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.

B.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Peradaban Indonesia pada masa sebelum dan sesudah Kemerdekaan?
2.      Bagaimana Perkembangan Islam di Indonesia?
3.      Bagaimana Perkembangan Islam masa Modern di Indonesia?
4.      Bagaimana perkembangan seni budaya Islam di Indonesia?

C.   Tujuan Mempelajarinya

1.      Mengetahui bagaimana cara berkembangnya islam di Indonesia
2.      Mengetahui sejarah peradaban Indonesia
3.      Agar mengetahui seni budaya di Indonesia












BAB II
PEMBAHASAN

A.   Peradaban di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan
a.     Sebelum Kemerdekaan

Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama islam ke Indonesia.
Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah :
1.      Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara.
2.      Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia.
Sejak pertengahan abad ke XIX, agama islam di Indonesiasecara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik(mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya.
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :
1. Pada Masa Kesultanan
2. Pada Masa Penjajahan
3. Pada Masa Kemerdekaan

b.     Sesudah Kemerdekaan

1. Pra Kemerdekaan
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.[1]

B.    Perkembangan Islam di Indonesia
a.     Kedatangan islam di indonesia

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar  yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan indonesia dengan berbagai daerah daratan asia tenggara.wilayah barat nusantara dan sekitar malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara cina dan india. Sementara itu, pala dan cenkeh yang berasal dari maluku, dipasarkan dijawa dan sumatra, untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting disumatra dan jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti lamuri (Aceh) Barus dan Palembang di Sumatera, (Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa).
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7M (abad I H), islam pertama kali berkmbang di Timur Tengah. Malaka, jauh sebelum ditaklukkan portugis (1511), merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh plosok Nusantara dibawa ke Cina dan India., terutama Gujarat, yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka pada waktu itu. Dengan demikian , Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting. Lebih ke Barat lagi dari Gujarat, perjalanan laut melintasi Laut Arab. Dari sana perjalanan bercabang dua. Jalan pertama di sebelah Utara menuju teluk Oman, melalui selat Ormuz ke Teluk Persia. Jalan kedua melalui Teluk Aden dan Laut Merah, dan dari kota Suez jalan perdagangan harus melalui daratan ke kairo dan Iskandariah. Melalui jalan pelayaran tersebut, kapal-kapal Arab, Persia dan India mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke negri Cina dengan menggunakan angin musim untuk pelayaran pulang perginya.
Ada indikasi bahwa kapal-kapal Cina pun mengikuti jalan tersebut sesudah abad ke-9M tetapi tidak lama kemudian kapal-kapal tersebut hanya sampai di pantai barat India, karena barang-barang yang di perlukan sudah dapat di beli di sini. Kapal-kapal indonesia juga mengambil bagian dalam perjalanan niaga tersebut. Pada Zaman Sriwijaya, pedagang-pedagang Nusantara mengunjug pelabuhan-pelabuhan Cina dan Pantai Timur Afrika.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan islam itu, perkembangan agama islam di indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang-pedagang islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negri,terutama Cina, (2) Adanya   komunitas-komunitas islam dibeberapa daerah di kepulauan Indonesia. Sumbernya, di samping berita-berita asing juga makanan-makanan Islam, dan (3) berdirinya kerajaan-kerajaan islam.

b.     Kondisi dan situasi politik kerajaan-kerajaan di Indonesia

Cikal bakal kekuasaan islam telah dirintis pada periode abad 1-5H/7-8M, tetapi semua tenggelam dalam hegemoni maritm Sriwijaya yang erpusat di Palembang dan Majapahit di jawatimur . pada periode ini para pedagang dan mubaligh muslim membentuk komunitas-komunitas islam. Mereka memperkenalkan islam yang mengajarkan toleransi dan kesamaan derajat di antara sesama, sementara ajaran Hindu-Jawamenekankan prbedaan derajat manusia. Ajaran islam ini sangat menarik perhatian penduduk setempat. Karena itu, islam tersebar di kepulauan Indonesia terhitung cepat, meski dengan damai.
Masuknya islam ke daerah-daerah di indonesia tidak dalam waktu yang bersamaan. Di samping itu, keadaan politik dan sosial budaya daerah-daerah ketika datang islam juga berlainan. Pada abad ke-7 sampai ke-10M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaanya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Hal itu erat hubunganyaa dengan usaha penguasaan selat Malakayang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional. Datangnya orang-orang muslim kedaerah itusama sekali belum memperhatikan dampak-dampak politik., karena mereka datang hanya memang untuk usaha pelayaran dan perdagangan. Keterlibatan orang-orang islam dalam bidang poitik terlihat pada abad ke-9M, ketika mereka terlibat dalam pemberotakanpetani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan kaisar Hi-Tsung (878-889M). Akibat pemberontakan itu, kaum muslimin banyak yang dibunuh. Sebagian lainya ke Kedah, wilayah yang masuk ke kekuasaan Sriwijaya, bahkan ada yang ke Palembang dan membuat perkampungan Muslim disini. Kerajaan-kerajaan Sriwijaya pada waktu itu memang melindungi orang-orang muslimdi wilayah kekuasaanya.
Di kerajaan Majapahit, ketika Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada masih berkuasa, situasi politik pusat kerajaan memang tenang, sehingga banyak daerah dikepulauan Nusantara mengakui berada dibawah perlindunganya. Tetapi sejak Gajah Mada meninggal dunia (1364M) dan di susul Hayam Wuruk (1389M), situasi Majapahit kembali mengalami kegoncangan. Perebutan kekuasaan anara Wikramawhardana da Bhre Wirabumi  berlangsung  lebih dari sepuluh aun. Setelah Bhre Wirabumi meninggal, perebutan kekuasaan dikalangan istana kembali muncul dan berlarut-larut. Pada tahun 1468M Maja Pahit di serang Girindrawardhana dari Kediri. Sejak itu, kebesaran Majapahit dapat di katakan sudah habis. Tome Pires (1512-1515M), dalm tulisanya suma oriental, tidak lagi menyebut-nyebut nama Majapahit. Kelemahan-kelemahan yang semakin lama semakin memuncak akhirnya menyebabkan keruntuhannya.

c.     Munculnya pemukiman-pemukiman muslim di kota-kota pesisir

Seperti disebutkan di atas, menjelang abad ke-13M, pesisir aceh sudah ada pemukiman muslim. Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim dari Arab, Persia, dan India memang pertama kali terjadi didaerah ini. Karena itu, diprkirakan, proses islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu terjadi. Dengan demikian, dapat dipahami mengapa kerajaan islam pertama di Kepulauan Nusantara ini berdiri di Aceh, yaitu kerajaan Pasai yang didirikan pada pertengahan abad ke-13M, setelah kerajaan islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makn lama makin meluas dan pada awal abad ke-15M, di daerah ini lahir kerajaan islam kedua di asia tenggara. Kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambi alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudra Pasai yang kalah bersaing. Lajunya perkembangan masyarakat Muslim ini berkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya.
Setelah malaka jatuh ke tangan portugis (1511 M), mata rantai penting pelayaran beralih ke Aceh, kerajaan islam yang melanjutkan kejayaan Samudra pasai. Dari sini, proses islamisasi di kepulauan Nusantara berlangsung lebih cepat dari sebelumnya. Untuk menghindari gangguan portugis yang menguasai Malaka, untuk sementara waktu kapal-kapal pemilih berlayar menelusuri pantai Barat Sumatra. Aceh kemudian berusaha melebarkan kekuasaanya ke Selatan sampai ke Pariaman dan Tiku. Dari pantai Sumatra, kapal-kapal memasuki selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa.
Berdasarkan berita Tome Pires (1512-1511), dalam suma oriental-nya, dapat diketahui bahwa daerah-daerah dibagian pesisir Sumatra Utara dan Timur selat Malakayaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan kerajaan-kerajaan islam. Akan tetapi,  menurut berita itu, daerah-darah yang belum islam juga masih banyak, yaitu palembang dan daerah-daerah pedalaman. Proses islamisasi ke daerah-daerah pedalaman aceh, Sumatra Barat, terutama terjadi sejak aceh mlakukan ekspansi politiknya pada abad ke-16 dan ke-17M.
Sementara itu, di Jawa, proses islamisasi sudah berlangsung, sejak abad ke-11M, meskipun belum meluas; terbukti dengan di temukanya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475H (1082M). Berita tentang islam di Jawa pada abad ke-11 dan 12M memang masih sangat langka. Akan tetapi, sejak akhir abad ke-13M dan abad-abad berikutnya, terutama ketika Majapahit mencapai puncak kebesaranya, bukti-bukti adanya proses islamisasi sudah banyak, dengan ditemukanya beberapa puluh nisan kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Bahkan, menurut berita Ma-huan tahun 1416M, di pusat Majapahit maupun dipesisir, terutama dikota-kota pelabuhan, telah terjadi proses islamisasi dan sudah pula terbentuk masyarakat muslim.
Pertumbuhan masyarakat islam disekitar Majapahit dan terutama di beberapa kota pelabuhan di Jawa  erat hubunganya dengan perkembangan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang islam yang telah mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik di Samudra Pasai,Malaka dan Aceh.
Tome Pires juga menyebutkan bahwa di Jawa sudah ada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Demak, dan kerajaan-kerajaan di daerah pesisir Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, di samping masih ada kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu.
Melihat makam-makam muslim yang terdapat di situs-situs Majapahit, diketahui bahwa islam sudah hadir di ibu kota Majapahit sejak kerajaan itu sudah mencapai puncaknya. Meskipun demikian, lazim dianggap bahwa islam di Jawa pada mulanya menyebar selama periode merosotnya kerajaan Hindu-Budhis. Islam menyebar ke posisi pulau jawa melalui hubungan perdagangan, kemudian dari pesisir ini, agak belakang menyebar ke pedalaman pulau itu. Di beberapa tempat, raja-raja jawa yang kafir menjadi muslim, sementara para mullah dan para pedagang muslim mendapat posisi di sana. Yang lain mengambil jalan membangun benteng di sekitar tempat-tempat mereka tinggal dan mengambil masyarakat-masyarakat pribuminya, yang berlayar di kapal-kapal mereka. Mereka membunuh raja-raja jawa serta menjadikan  diri mereka sebagai raja. Dengan cara ini . mereka menjadikan diri mereka sebagai tuan-tuan di pesisir itu serta mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di Jawa.
Perkembangan islam di pulau jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluan kepada raja-raja islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun bukan tang tertua dari wali songo, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai kraton pusat.
Pengaruh islam masuk ke Indonesia bagian timur, khususnya daerah Maluku, tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang pada pusat lalulintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14M, islam datang ke daerah Maluku. Raja ternate yang ke duabelas, Molomatea (1350-1357M) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk dalam pembuatan kapal-kapal, tetapi agaknya bukan dalam kepercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa di Ternate sudah ada masyarakat islam sebelum rajanya masuk islam. Demikian juga di Banda, Hitu, Makyan, dan Bacan. Menurut TomePires, orang masuk islam di Maluku kira-kira tahun 1460-1465M. Hal itu sejalan dengan berita Antonio Galvao. Orang-orang islam datang ke maluku tidak menghadapi kerajaan-kerajaan yang sedang mengalami perpecahan sebagaimana halnya di Jawa. Mereka datang dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan, dakwah dan perkawinan.
Proses islamisasi pada taraf pertama di kerajaan Gowa di lakukan dengan cara damai, oleh Dato’ Ri Bandung dan Dato’ Sulaeman keduanya memberikan ajaran-ajaran islam kepada masyarakat dan raja. Setelah secara resmi memeluk agama islam, Gowa melancarkan perang terhadap Soppeng. Wajo, dan terakhir Bone. Kerajaan-kerajaan itupun masuk islam, Wajo, 10 Mei 1610M dan Bone, 23 November 1611 M.
Proses islamisasi tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan islam tetapi terus berlangsung intensif dengan berbagai cara dan saluran.

d.     Saluran dan cara-cara islamisasi di Indonesia

Kedatangan islam dan penyebaran kepada golongan bangsawa dan rakyat umumnya, dilakukan secara damai. Apabila situasi politik dalam kerajaan mengalami kekacauan dan kelemahan disebabkan perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, maka islam di jadikan alat politik bagi golongan bangsawan atau pihak-pihak yang menghendakikekuasaan itu. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan perdagangan. Apabila kerajaan islam sudah berdiri, penguasanya melancarkan perang terhadap kerajaan non-islam. Hal itu bukanlah persoalan agama tetapi karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam yaitu:
1.      Saluran perdagangan
2.      Saluran Perkawinan
3.      Saluran Tasawuf
4.      Saluran Pendidikan
5.      Saluran Kesenian
6.      Saluran Politik[2]

C.   Perkembangan Islam pada masa Modern di Indonesia
a.     Sejarah Latar Belakang  Perkembangan Islam Masa Modern di Indonesia

Di Indonesia, terdapat pembaharu atau partai politik besar yang menentang penjajahan diantaranya:
Ø  Sarekat Islam (SI) dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto berdiri pada tahun 1912 dan merupakan kelanjutan dari Sarikat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911.
Ø  Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan oleh Sukarno (1927).
Ø  Pendidikan nasional Indonesia (PNI-baru) didirikan oelh Mohammad Hatta(1931).
Ø  Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) menjadi partai politik tahun 1932 yang dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.
Munculnya gagasan nasionalisme yang diiringi oleh berdirinya partai-partai politik tersebut merupakan asset utama umat Islam dalam perjuangan untuk mewujudkan Negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik barat. Sebagai gambaran dengan nasionalisme dan perjuangan dari partai-partai politik yang penduduknya mayoritas muslim adalah Indonesia. Indonesia merupakan Negara yang mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamirkan kemerdekaannya yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Negara kedua yang terbebas dari penjajahan yaitu Pakistan. Merdeka pada tanggal 15 agustus 1947 dengan presiden pertamanya Ali Jinnah.

b.     Gerakan Modern Islam di Indonesia

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam yang lahir di Timur Tengah sangat berpengaruh terhadap gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut seperti munculnya berbagai organisasi dan kelembagaan modern di Indonesia pada awal abad ke- 20. Organisasi atau kelembagaan dimaksud yaitu Jamiatul Khair (1905) yang bertujuan izzul Islam wal Muslimin kejayaan Islam dan umatnya dengan gerakannya yaitu mendirikan sekolah tingkat dasar dan mengirimkan anak muda berprestasi ke Turki. Al Irsyad, yaitu bergerak dalam bidang pendidikan pendirinya adalah Syekh Ahmad Sorkati dan para pedagang. Muhammadiyah, yaitu didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tanggal 18 november 1912 di Jogjakarta dengan tujuan Menggapai Surga dengan ridha Allah SWT dan mencapai masyarakat yang aman, damai, makmur, sejahtera dan bahagia disertai dengan nikmat Allah yang melimpah ruah dengan baldatun tayyibatun wa rabbun gafur.
Persatuan Islam didirikan oleh Ahmad Hasan dan M. Natsir di Bandung tahun 1920, kegiatan utamanya tabligh, khotbah dan penerbitan guna memurnikan syari’at Islam. SDI (Syarikat Dagang Islam) didirikan oleh Haji Saman Hudi di Solo tahun 1911. SDI diubah menjadi PSI (Partai Serikat Islam) dan tahun 1929 diubah lagi menjadi PSII (Partai Serikat Islam Indonesia), semula bergerak dalam ekonomi dan keagamaan kemudian berubah menjadi kegiatan politik. N U (Nahdhatul Ulama) yaitu didirikan oleh KH Hasyim Asy’ ari tanggal 13 januari 1926 di Surabaya dengan tujuan membangkitkan semangat juang para ulama di Indonesia. Matla’ul Anwar, pendirinya adalah KH Yasin pada tahun 1905 di Banten dengan kegiatanyya berupa sosial keagamaan dan pendidikan. Perti (Pergerakan Tarbiyah) didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar Rasuli pada tahun 1928 di Sumatera Barat. Kegiatannya bergerak dalam bidang pendidikan, memberantas bid’ah, khurafat dan takhayul serta taklid umat Islam.

c.     Beberapa Hikmah Mempelajari Sejarah Perkembangan Islam Pada Abad Modern

1.      Sejarah dikemukakan dalam Al Qur’an sebagai kisah atau peristiwa yang dialamiumat manusia di masa lalu. Orang yang tidak mau mengambil hikmah dari sejarah mendapat kecaman karena mereka tidak mendapat pelajaran apapun dari kisah dalamAl Qur’an. Melalui sejarah, kita dapat mencari upaya antisipasi agar kekeliruan yangmengakibatkan kegagalan di masa lalu tidak terulang di masa yang akan datang.
2.      Pelajaran yang dapat diambil dari sejarah dapat menjadi pilihan ketika mengambil sikap. Bagi orang yang mengambil jalan sesuai dengan ajaran dan petunjuk-Nya,orang tersebut akan mendapat keselamatan.
3.      Pembaruan akan memberi manfaat berupa inspirasi unutk mengadakan perubahan-perubahan sehingga suatu pekerjaan akan menjadi lebih efektif dan efisien.
4.      Dalam sejarah, dikemukakan pula masalah sosial dan politik yang terdapat di kalangan bangsa-bangsa terdahulu. Semua itu agar menjadi perhatian dan menjadi pelajaran ketika menghadapi permasalahan yang mungkin akan Pengaruh Gerakan Modernisasi Islam Terhadap Perkembangan Islam di Indonesia

d.     Perjalanan Peta Politik Islam Indonesia

Islam mulai memasuki wilayah politik indonesia sejak pertama kali negara indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu). Dengan cara membuat suatu wadah, yaitu mendirikan partai politik. Pada waktu itu partai yang berasaskan islam yaitu ada dua pertama, Partai Masyumi dan Partai NU. Melalui wadah ini umat islam memainkan perannya sebagai seorang politikus yang ingin menanamkan nilai-nilai islam.  Dalam tesis Harun Nasution yang berjudul The Islamic State in Indonesia. The Rise of the Ideology, the Movement for its Creation and the Theory of the Masjumi,  beliau mengemukakan bahwa ada perbedaan besar antara NU dan Masyumi. Kaum modernis di dalam Masyumi pada umumnya mereka hendak membangun suatu masyarakat muslim dan sebagai akibatnya mereka mengharapkan suatu negara islam.  Kelompok yang diwakili NU lebih sering memperjuangkan suatu Negara sebagai langkah pertama dan melalui negara islam ini mereka hendak mewujudkan suatu masyarakat islam (hlm. 76-77). Suatu perbedaan lain adalah, bahwa ulama mendapat kedudukan yang penting dalam organisasi negara konsep NU, sedangkan posisi mereka tidak begitu menonjol dalam pemikiran kaum Masyumi (92). [3]

e.     Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Pendidikan islam adalah pendidikan yang teori-teorinya disusun berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.[4] Pada awal kemerdekaan pendidikan islam dianggap sebagai musuh oleh kaum penjajah. Sebab, pendidikan islam kerap mengjarkan melawan akan kebatilan yang dilakukan oleh para penajajah. Kini pendidikan islam berkembang subur, laksana rumput ditanah yang luas tersiram air hujan. Tumbuh tiada terbendung.
Kemajuan dari poendidikan islam di indonesia dapat kita lihat dari; semakin luasnya persebaran pondok pesantren, yang merupakan basis penyebaran islam di indonesia. Sebutan pesantren hanya dipakai di pulau Jawa. Sementara di daerah lain, istilah ‘pesantren’ untuk di Aceh dikenal dengan sebutan dayah, di padang dengan istilah suarau.[5]
Disamping pesantren, lembaga formal pendidikan islam-pun, mulai banyak bermunculan di Indonesia. Dari mulai; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Perguruan Tinggi Islam. Walupun dari segi kuantitas banyak. Akan tetapi, kalau kita melihat dari segi kualitas belum tentu sebanyak jumlahnya. Contohnya, pada pencapaian nilai UAN sekolah yang yang mencapai nilai tertinggi rata-rata dari sekolah non-islam. Disamping lembaga pendidikan berupa sekolah dan Strata-1, Program pasca sarjana pun mulai tahun 1982 dibuka di IAIN.

D.   Perkembangan Seni Budaya Islam di Indonesia
a.     Peradaban Seni Budaya di Indonesia

Seni adalah sesuatu hasil karya manusia yang indah, baik dalam bentuk materiil, maupun nonmateriil,sedangkan budaya adalah salah satu hasil peradaban seni. Islam pun mengenal yang namanya seni,yang pada hakikatnya merujuk pada sesuatu yang bagus dan indah. Pada Q.S. As-Sajdah [32] : 7 disebutkan: “yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.
Budaya Islam Indonesia tidak sehebat seperti Kerajaan Mughal di India dengan Taj Mahal-nya. Hal inidisebabkan Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai sehingga seni Islam harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan lama, dan Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.[6] Keseniannya sangat sederhana dan miskin. kekuatan himmah seperti mendorong Muslim di negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar, tidak muncul di Indonesia. Kalau pun muncul, biasanya berasal dari negara luar atau peniruan yang tidak lengkap. Walaupun demikian, masuknya Islam ke Indonesia membawatamaddun (kemajuan) dan kecerdasan bagi bangsa Indonesia.[7] Islam datang ke Indonesia memberikan perubahan dalam bidang seni, misalnya, penggunaan batu nisan, seni bangunan,seni sastra, dan seni ukir.

b.     Macam-Macam Seni Budaya Islam di Indonesia
1.      Batu Nisan
Kebudayaan Islam di Indonesia mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk batu nisan. Di Pasai masih dijumpai batu nisan makan Sultan Malik al-Saleh yang wafat pada tahun 1292. Batunya terdiri dari pualam putih diukir dengan tulisan arab yang sangat indah berisikan ayat al-qur’an dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai juga di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Nisan itu umumnya didatangkan dari Gujarat sebagai barang pesanan. Bentuknya lunas (bentuk kapal terbalik) yang mengesankan pengaruh Persia. Bentuk-bentuk nisan kemudian hari tidak selalu sama.
2.      Arsitektur (Seni Bangunan)
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana. Bangunan istana arsitektur yang dibangun pada awal perkembangan Islam, juga memperlihatkan adanya unsur akulturasi dari segi arsitektur ataupun ragam hias, maupun dari seni patungnya contohnya istana Kasultanan Yogyakarta dilengkapi dengan patung penjaga Dwarapala (Hindu).
3.      Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir.
Ukiran ataupun hiasan, selain ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang. Untuk hiasan pada gapura.
Ketika Islam baru datang ke Indonesia, terutama ke Jawa, ada kehati-hatian para penyiar agama. Banyak candi-candi besar, termasuk candi Borobudur, yang semula ditimbun tanah pada masa penjajahan Belanda dan kemudian digali kembali, supaya tidak mengganggu para mualaf. Mempuat patung dari seni ukir pun dilarang, kalaupun timbul kembali, kesenian itu harus disamarkan, sehingga seni ukir dan seni patung menjadi terbatas kepada seni ukir saja.[8]
4.      Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tandatanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.[9]
Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.

c.     Pengaruh Masuknya Islam terhadap Bangsa Indonesia

Jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah memeluk agama hindu dan budha disamping kepercayaan nenek moyang mereka yang menganut animisme dan dinamisme. Setelah Islam masuk ke Indonesia, Islam berpengaruh besar baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi,maupun di bidang kebudayaan yang antara lain seperti di bawah ini:
1.      Pengaruh Bahasa dan Nama
2.      Pengaruh Budaya, Adat Istiadat dan Seni
3.      Pengaruh dalam Bidang Politik
4.      Pengaruh di bidang ekonomi[10]

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan












B.    Saran























DAFTAR PUSTAKA

http://satuhati-satukisah.blogspot.com/2013/05/sejarah-peradaban-islam-tentang.html
Sudirman, Pembaharuan Hukum Islam : Mempertimbangkan Harun Nasution, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta: LSAF, 1989,
Prof. Dr. A. Tafsir, dkk., cakrawala penididikan islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004,
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Histori Dinamika Studi di Indonesia, Hal. 67
http://www.scribd.com/doc/86630485/Islam-Dalam-Seni-Budaya
G. F. P  ijper, Sejarah Islam di Indonesia  1900-1950, Terjemahan. Tudjimah Yessy Augusdin ( Jakarta: UI-Press, 1985)
Ismail Raji Al Faruqi, Seni Tauqid Ekpresi Estetika Islam, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1999)
http://indonesianto07.wordpress.com/2008/11/09/perkembangan-dan-akulturasi-islam-di-indonesia/ (diakses 23/04/2012)




[1] http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-peradaban-islam-di-indonesia.html
[2] http://bagusizza.blogspot.com/2013/05/sejarah-peradaban-islam.html
[3] Sudirman, Pembaharuan Hukum Islam : Mempertimbangkan Harun Nasution, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta: LSAF, 1989, Hal. 153
[4] Prof. Dr. A. Tafsir, dkk., cakrawala penididikan islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004, Hal. 2
[5]  Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Islam Histori Dinamika Studi di Indonesia, Hal. 67
[6] http://www.scribd.com/doc/86630485/Islam-Dalam-Seni-Budaya
[7] G. F. P  ijper, Sejarah Islam di Indonesia  1900-1950, Terjemahan. Tudjimah Yessy Augusdin ( Jakarta: UI-Press, 1985) hal. 44
[8] Ismail Raji Al Faruqi, Seni Tauqid Ekpresi Estetika Islam, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1999) hal. 67
[9] http://indonesianto07.wordpress.com/2008/11/09/perkembangan-dan-akulturasi-islam-di-indonesia/ (diakses 23/04/2012)
[10] http://zona-pelajar.blogspot.com/2011/03/pengaruh-sejarah-islam-abad-pertengahan.html (diakses 23/04/2012)

Penutupnya langsung tercantum dimakalah gak di web :D
Dipresentasikan oleh Phuput Elsan dan Wulandari pd tanggal 1 maret 2014

Al-Qur'an dan Wahyu


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Firman Allah SWT dan warisan Rosulullah SAW yang tak akan pernah terhapus oleh masa adalah Al-qur’an dan Al-hadits, dengan mengetahui sejarah perkembangan Al-qur’an serta pengertian dan sifat-sifatnya juga perbedaan Al-Qur’an dan Hadits menjadi sesuatu yang luar biasa dalam ajaran umat islam, sehingga kita umat islam bisa mengetahui bagaimana perjuangan para syuhada’ yang telah merawat dan menjaga Al-qur’an pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in.
 Al-qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui  Malaikat Jibril secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari di kota Mekkah dan Madinah. Pada waktu turunnya Al-qur’an, Bangsa Arab hanya sedikit diantara mereka bisa menulis dan membaca, pada masa itu juga mereka belum mengenal “Alqirthas” yang berarti “kertas” melainkan mereka menggunakan batu, kelopak kurma dan kulit binatang untuk menulis Al-qur’an.
          Walaupun Bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pada pujangga, peristawa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata.
Dan juga dengan mengetahui definisi wahyu dan cara penurunannya wahyu, menjadu suatu yang luar biasa karna kita sebagai umat islam mengetahui bagaimana cara Nabi Muhammad Saw diturunkan wahyu oleh Allah Swt.
B.    Rumusan Masalah
1.       Bagaimana Sejarah Perkembangan Al-Qur’an dari masa ke masa?
2.       Apa Definisi dan Sifat-sifat Al-Qur’an?
3.       Apa perbedaan Al-Qur’an dan Hadits?
4.       Apa yang dimaksud dengan Wahyu dan bagaimana cara penurunannya?

C.    Tujuan Penulisan
Dengan menulis makalah ini kita mengetahui Sejarah Perkembangan Al-Qur’an serta pengertian dan Sifat-sifat Al-Qur’an yang sebelumnya kita ketahui. Dan juga dapat mengetahui perbedaan Al-Qur’an dan Hadits. Wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw pun dapat kita ketahui dari sumber-sumber penulisan ini.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Ilmu Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya
a.    Ilmu Al-Qur’an

Kitab suci Al-Quran sebagai pedoman umat Islam dengan kesusasteraan bermutu tinggi harus dipahami dengan benar. Hasbi Ash-Shidieqi menyatakan untuk dapat memahami Al-Quran dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang disebut Ulumul Qur”an.[1]
`Ulum Al-Qur'an berasal dari bahasa Arab, terdiri dari dua kata, yaitu : 'ulum (jamak dari  ilmu) dan Al-Qur'an. Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi mendefinisikan ‘ulum Al-Qur'an sebagai ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur'an dari aspek turunnya, sistematikanya, pengumpulan dan penulisannya, bacaan-bacaannya, tafsirnya, kemukjizatannya, nasikh mansukh, dan lain-lain. Ulama ulama lain seperti Al-Zargani, Manna'al-Qaththan, Subhi al-Sholih, dan lainnya juga mendefinisikan ilmu Al-Qur'an sebagai ilmu yang mencakup pembahasan yang berkaitan dengan informasi tentang asbab al-nuzul, kodifikasi dan tertib penulisan, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah maupun Madinah, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Al-Qur'an.
Dari beberapa pendapat disimpulkan bahwa ulum Al-Qur'an merupakan ilmu yang membahas segala hal ihwal yang berkaitan dengan Al-Qur'an. Ilmu-ilmu itu baik bersifat teoretis atau praktis, baik yang sudah dibahas atau yang belum, dan yang berkaitan dengan ayat-ayat quraniyah maupun kauniyah. Oleh karenanya pembahasan ulum Al-Qur'an sangat luas sekali, namun demikian sebagai halnya banyak dibahas dalam kitab-kitab ulum Al-Qur'an, para ulama lebih banyak menekankan pada pembahasan yang berakitan dengan teks al-Qur'an.
  1. Ruang Lingkup Ilmu Al-Qur'an
Ruang lingkup ilmu Al-Qur'an berkaitan dengan cabang-cabang ilmu Al-Qur'an. Para ulama sepakat menyatakan terdapat cabang-cabang terpenting, yakni :
·         Asbab al-nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat A-Qur'an)
·         I’jaz Al-Qur'an (ilmu tentang kemukjizatan Al-Qur'an)
·         Nasikh wa mansukh (ilmu tentang ayat yang menghapus dan dihapus hukumnya oleh ayat lain)
·         Ahkam Al-Qur'an (ilmu tentang hukum-hukum Al-Qur'an)
·         Fadlail Al-Qur'an (ilmu tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur'an)
·         Ta'wil Al-Qur'an (ilmu tentang takwil Al-Qur'an)
·         Al-muhkam wa al-Mutasyabih (ilmu tentang ayat-ayat yang jelas dan yang samar)
·         Tarikh Al-Qur'an wa tadwinnih wa naskhih wa kuttabih wa rasmih (sejarah Al-Qur'an dan pembukuannya, salinannya, penulis-penulisnya dan bentuk tulisannya)
·         I 'rab Al-Qur'an (ilmu tentang tata bahasa Al-Qur'an)
·         Al-Qira'at (ilmu tentang bacaan-bacaan Al-Qur'an) dan
·         Al-munasabah (ilmu tentang sistematika Al-Qur'an).[2]

c.    Sejarah Perkembangan Al-Qur’an
Al-Quran sendiri yang menyatakan bahwa keautentikan (orisinilitas) Al-Qur’an dijamin oleh Allah Swt sesuai dengan firman-Nya :
“Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al-Dzirk (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami jugalah yang benar-benar memeliharanya” (Qs. Al-Hijr (15) ayat 9)
Adapun sejarah pemelihraan Al-Qur’an itu sendiri secara global dan umum pada dasarnya dapat ditelusuri dari empat tahap besar yaitu: pencatatan Al-Qur’an di zaman Nabi Muhammad Saw, Penghimpunannya di zaman Abu Bakar as-Shiddiq, Pengandaan Al-Qur’an di zaman ‘Utsman ibn ‘Affan, pencetakan Al-Qur’an pada abad ke-17 Masehi.[3]

1.       Tahap pencatatan di zaman Nabi Muhammad Saw
Sejarah telah mencatat bahwa pada masa-masa awal kehadiran agama Islam, bangsa Arab tempat diturunkannya Al-Qur’an tergolong kedalam bangsa yang buta aksara, tidak pandai membaca dan menulis. Kalaupun ada yang bisa baca dan tulis itu hanya beberapa orang saja dapat dihitung dengan jari. Nabi Muhammad Saw sendiri dinyatakan sebagai nabi yang ummi, yang berarti tidak pandai membaca dan menulis. Nabi Muhammad Saw adalah Nabi/Rasul yang ummi yang tidak pernah membaca dan menulis satu kitab apapun. Dan bangsa Arab yang pertama kali menerima Al-Qur’an adalah bangsa yang ummi, tidak mampu membaca dan menulis kecuali segelincir saja dari mereka. Karenanya, Al-Qur’an ayat yang pertama kali diturunkan itu surah Al-‘Alaq sebagai surat perintah membaca dan menulis.[4]
Kekuatan daya hafal bangsa Arab dalam hal ini para sahabat benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh nabi dengan memerintahkan mereka supaya menghafal setiap kali ayat Al-Qur’an diturunkan. Sementara yang pandai menulis yang dari waktu ke waktu semakin bertambah banyak oleh Nabi diperbolehkan mencatat Al-Qur’an setiap kali beliau menerima ayat-ayat Al-Qur’an. Pada zaman itu tercatatlah para hafizh dan hafizhah (pria dan wanita penghafal Al-Qur’an) serta katib(pencatat/penulis) Al-Qur’an yang sangat handal. Bahkan banyak juga dari kalangan mereka ada yang penulis sekaligus penghafal Al-Qur’an.
Sejarah mencatat bahwa dari sekian banyak penulis resmi ayat-ayat  Al-Qur’an yang diterima Rasul, dan kemudian disampaikannya kepada para sahabatnya, Zaid Ibn Tsabitlah yang paling profesional dan paling andal melakukannya. Dengan sangat cermat dan teliti, Zaid dan kawan-kawan selalu mencatat ayat-ayat Al-Qur’an dan menempatkan serta mengurutkannya teks-teks surat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk Nabi Saw. Mereka mencatat pada benda-benda yang mungkin digunakan sebagai sarana tulis-menulis terutama pelepah-pelepah kurma, kulit-kulit hewan, tulang-belulang, bebatuan dan lainnya yang diatasnya dapat digoreskan ayat-ayat Al-Qur’an.[5]

2.       Tahap Penghimpunan di Zaman Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq
Penghimpunan Al-Qur’an ke dalam satu mushhaf, baru dilakukan di zaman Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq, tepatnya setelah terjadi peperangan yamamah (12H/633M), dalam peperangan yamamah ini konon terbunuh sekitar 70-an orang syuhada dan penghafal Al-Qur’an dengan amat baiknya. Padahal, sebelum peristiwa yang mengenasi itu terjadi, telah pula meninggal 70 qurra’ lainnya pada peperangan disekitar sumur ma’unnah yang terletak didekat kota Madinah.
Abu Bakar membuat sebuah kegiatan, beliau mengangkat semacam panitia atau lajnah penghimpunan Al-Qur’an yang terdiri atas empat orang dengan komposisi kepanitiaan sebagai berikut: Zaid Ibn Tsabit sebagai ketua, dan tiga orang lainnya yakni ‘Utsman Ibn ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka’ab, masing-masing bertindak sebagai anggota. Himpuanan Al-Qur’an yang dilakukan Zaid Ibn Tsabit kemudian dipegang Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq hingga akhir hayatnya. Dan ketik kekhalifahan dipegang Umar Ibn al-Khaththab himpuanan Al-Qur’an pun beralih ke tangan Umar. Ketika Umar meninggal, dan kekhalifahan di jabat oleh ‘Utsman Ibn ‘Affan, tapi untuk sementara waktu himpuanan tersebut dirawat oleh Hafshah binti Umar karena dua alasan: pertama, Hafshah seorang hafizhah dan Kedua, dia juga salah seorang istri Nabi disamping anak seorang Khalifah.[6]

3.       Tahap Penggandaan di Zaman Khalifah Utsman Ibn Affan
Dalam menetapkan bentuk Al-Qur’an menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at ( cara membaca ) Al-Qur’an, perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an muncul dikalangan tentara tentara muslim yang sebagian direkrut dari siria dan sebagian lagi dari irak. Khalifah berumbuk dengan para sahabat senior nabi dan akhirnya menugaskan Zaid Ibn Tsabit “ mengumpulkan” Al-Qur’an. Bersama Zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga mekkah terpandang:  Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al-‘ish dan Abd Ar-Rahma bin Al-harits.
Prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek quraisy  suku dari mana nabi berasal harus dijadikan pilihan. Al-Qur’an direvisi dengan nabi berasal dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan hafshah. Dengan demikian suatu naskah otoriatif ( absah ) Al-Qur’an disebut mushaf ‘Ustmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinan dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utana daerah islam.
‘Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf-mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[7]
b.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kemabli dihadapan nabi pada saat – saat terakhir.
c.      Kronologis surat dan ayat seperti yang sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman
d.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun
e.      Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan

4.       Tahap Pencetakkan Al-Qur’an
Pemeliharaan Al-Qur’an diturunkan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia tulis-menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan seperti buku-buku dan media cetak lainnya, Al-Qur’an pun pertama kali dicetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. Sejak itu Al-Qur’an terus menerus mengalami kemajuan yang sangat berarti, dinegara mayoritas bahkan minoritas sekalipun tidak ada yang tidak memiliki percetakan.
Lebih dari itu, negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam lebih menyatakan diri sebagai negara Islam, mereka telah memiliki panitia khusus yang bertugas mentashhih setiap percetakan Al-Qur’an salah satunya di Indonesia. Satu hal menarik tentang penulis dan pencetakkan Al-Qur’an dialah bahwa Al-Qur’an ditulis/dicetak dalam berbagai bentuk dan ukuran, dengan cover/jilid yang beraneka ragam.[8]

5.       Pengajaran Al-Qur’an di Berbagai Dunia Islam
Seiring dengan kemajuan dunia cetak-mencetak Al-Qur’an, upaya pemeliharaan kesucian dan kemuliaan Al-Qur’an melalui sistem hafalan tetap dipertahankan hingga kini. Hampir tidak ada negara-negara Islam atau penduduk mayoritas bahkan minoritas sekalipun yang tidak mengupayakan lembaga pendidikan yang secara khusus membina dan mendidik para pelajarannya untuk menghafal Al-Qur’an.
Di Makkah, dan kota-kota lain dalam jazirah Arab umumnya, baik dengan maktab maupun madrasah serta darul ulum dan lain-lain, pelajaran Al-Qur’an termasuk penghafalan di dalamnya diajarkan sedemikian rupa. Demikian pula di Madinah di antaranya Madrasah Tahzib li Tahfizh Al-Qur’an al-Karim, yang didirikan pada masa Ibn Sa’ud dan diresmikan pada tahun 1935. Madrasah ini tentu telah melahirkan sekian banyak hafiz-hafizhah.
Di Mesir, sekolah-sekolah Awaliyah (setingkat madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar) diwajibkan menghafal Al-Qur’an kalau mereka hendak menamatkan pelajaran di sekolah-sekolah Alawiyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah Muslimin, maka hafal mereka tentang Al-Qur’an itu selalu diuji, sehinggan pelajar-pelajar lulusan sekolah Muslimintelah hafal Al-Qur’an seluruhnya dengan baik.
Demikian juga di sejumlah negara Islam yang lain semisal Pakistan, Siran, Iran, dan lain sebagainya termasuk di Indonesia. Di negara yang umat Muslimnya terbesar di seluruh dunia ini, pelajaran Al-Qur’an termasuk penghafalnya mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan muslimin senidiri maupun pemerintah Republik Indonesia. Keberadaan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an ( Institut PTIQ ) dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) keduannya di Jakarta, mengisyaratkan atusiasme umat Islam Indonesia bagi penghafal Al-Qur’an pada umumnya. Demikian pula dengan sejumlah Pondok Pesantren yang tersebar diberbagai daerah yang ada di Indonesia salah satunya Pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Itqon yang terletak di Bogor yang mengkhususkan dirinya sebagai Pondok pesantren Al-Qur'an.
Lebih dari yang dikemukakan di atas, pelajaran Al-Qur’an tidak hanya terdapat di negara-negara Islam atau di negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam, tetapi juga dijumpai negara-negara yang penduduk muslimnya minoritas sekalipun seperti di Tiongkok, Jepang, Thailand, Australia, New Zeland, dan lain-lain.[9]  Apalagi pada tahun 2000-an ini dimana agama Islam telah merambah ke semua negara, maka pembelajaran Al-Qur’an termasuk penghafalannya dapat dikatakan telah merata di seluruh negara di dunia. Di antara bentuk hafalan yang dilakukan generasi muda Islam dewasa ini ialah melalui pengkhataman baca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dengan menjadikan shalat tarawih sebagai medianya. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa sejumlah masjid terutama masjid-masjid besar dewasa ini melaksanakan jamaah tarawih dengan menampilkan imam-imam yang hafizh atau calon-calon hafizh yang membacakan surat-surat Al-Qur’an secara tartil dengan cicilan satu juz untuk satu malam. Sehingga, dalam satu bulan sang imam dapat menamatkan bacaan Al-Qur’an dari juz pertama hingga juz ke-30.[10]





2.      Definisi dan Sifat-sifat Al-Qur’an serta Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadits
a.    Definisi Al-Qur’an

Para ahli ilmu Al-Qur’an pada umumnya berasumsi bahwa kata Qur’an terambil dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan – wa-qur’anan yang secara harfiah berarti bacaan. Sebagian ulama menegaskan bahwa kata Qur’an itu mashdar ( kata kerja yang dibendakan ) yang diartikan dengan isim maf’ul, yakni maqru’, artinya sesuatu yang dibaca. Maksudnya, Al-Qur’an itu adalah bacaan yang dibaca. Penamaan Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril.[11]
Perbedaan ulama dalam menelusuri asal-usul kata Al-Qur’an, mereka juga tidak seragam dalam memberikan definisi Al-Qur’an. Namun demikian, jika direnungi dengan seksama terdapat beberapa unsur Al-Qur’an yang disepakati oleh para pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an. Unsur-unsur Al-Qur’an yang dimaksud adalah :
Pertama, al-Qur’an adalah wahyu atau Kalam Allah Swt. Semua definisi yang diberikan ahli, selalu diawali dengan penyebutan Al-Qur’an sebagai Kalam atas Wahyu Allah.[12] Perhatikan misalnya definisi Al-Qur’an yang menurut Muhammad Ali al-Shabuni konon telah disepakati oleh para ulama khususnya para ulama fikih yaitu :
“Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan melalui perantara Malaikat Jibril, ditulis dalam berbagai mushhaf, dinukilkan kepada kita dengan cara tawatur ( mutawatir), yang dianggap ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas”.[13]
“ Al-Qur’an ialah wahyu Allah yang diturunkan dari sisi Allah kepada Rasul-Nya Muhammad Ibn “abd Allah , penutup para nabi, yang dinukilkan daripadanya dengan penukilan yang mutawatir nazham/lafal maupun maknanya, dan merupakan kitab sumawi yang paling akhir penurunannya”.[14] Sebagai wahyu Allah tentu saja Al-Qur’an mutlak bukan puitisasi para penyair ( pujangga), bukan mantera-mantera tukang tenung, bukan bisikan setan yang terkutuk, bahkan juga bukan sabda Nabi Muhammad Saw. Pendeknya, Al-Qur’an adalah kalam Allah Swt, bukan perkataan selain Dia.
Kedua, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukan bahwa kalam atau wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi dan rasul Allah yang lain tidak dapat dinamakan Al-Qur’an. Sebab, seperti ditegaskan sebelum ini, Al-Qur’an adalah nama khusus yang diberikan Allah terhadap kitab suci-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Karenanya, kitab-kitab Allah yang lain seperti Zabur, Taurat dan Injil tidak boleh disebut sebagai  Al-Qur’an meskipun sama-sama wahyu dan orang yang menerimanya sama-sama nabi dan atau rasul Allah. Terlalu banyak disebutkan untuk disebutkan satu persatu ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.[15]
Ketiga, Al-Qur’an disampaikan melalui Malaikat Jibril. Semua ayat Al-Qur’an diwahyukan dengan perantaraan Malaikat Jibril. Memang ada segelintir pendapat ulama yang menyatakan bahwa sebagian Al-Qur’an diantaranya surat Al-Kautsar menurut mereka disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Secara langsung tidak melalui perantara Malaikat Jibril, tetapi pendapat ini selalu dibantah oleh banyak pihak.
Keempat, Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lafal Arab. Para ulama meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Allah Swt bukan semata-mata dalam bentuk makna halnya seperti Hadits Qudsi, akan tetapi juga sekaligus lafalnya. Perhatikan kata lafzhan wa ma’nan dalam definisi Al-Qur’an yang dikemukakan ‘Afif’ Abd Al-Fattah Thabbarah di atas. Demikian juga halnya dengan beberapa ta’rif Al-Qur’an yang diformulasikan para ahli Ilmu-Ilmu Al-Qur’an yang lain. Karena Al-Qur’an dan maknanya berasal dari Allah Swt, maka terjemahan Al-Qur’an dan bahkan tafsirnya yang dalam bahasa Arab sekalipun, tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an.
Terjemah Al-Qur’an bukanlah Al-Qur’an, demikian juga tafsir Al-Qur’an. Dan karenanya, berbeda dengan al-Hadits termasuk Hadits Qudsi yang boleh diriwayatkan hanya dengan maknanya (riwayat bi al-ma’na), penyampaian Al-Qur’an tidak dibenarkan menggunakan terjemahan atau penafsirannya belaka. Itulah pulanya sebab mengapa terjemah dan tafsir Al-Qur’an selalu dilakukan lebih dahulu menyalinkan teks Al-Qur’annya yang asli (berbahasa Arab).
Dari keempat unsur Al-Qur’an diatas, dapatlah dikatakan bahwa Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bentuk lafal Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan hal-hal lain seperti dinukilkan kepada kita dengan cara mutawatir, diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, serta ditulis dalam mushaf, itu menyangkut hal-hal yang bersifat teknis bagi penyampaian dan pemeliharaan Al-Quran.[16]

b.    Sifat-sifat Al-Qur’an
Seperti yang kita ketahui banyak sifat-sifat yang dimiliki Al-Qur’an, ada sifat-sifat Al-Qur’an ada juga nama-nama Al-Qur’an. Untuk nama-nama AlQur’an seperti yang pernah kita pelajari dimata kuliah yang berbeda, nama-nama Al-Qur’an yaitu Al-Kitab, Al-Furqan dan Al-Huda. Sedangkan sifat-sifat Al-Qur’an yaitu :
-          An-Nuur yang berarti cahaya, cahaya yang menerangi kegelapan. Al-Qur'an disifatkan sebagai nur (cahaya) karena ia memberikan cahaya keimanan kepada orang yang berada di dalam kegelapan serta kekufuran. Selain itu, Al-Qur'an juga menjadi cahaya yang menerangi jiwa orang yang selalu membacanya dan menghayati isi kandungannya. Seperti dalam surah An-nisa(4) ayat 174.
-          Al-Huda yang berarti petunjuk. Al- Qur'an disifatkan sebagai petunjuk karena ia menunjukkan jalan yang lurus kepada umat manusia. Seperti dalam surah Yunus(10) ayat 57
-          Al ‘Azhim mempunyai arti bahwa Allah adalah Dzat yang mencapai tingkatan yang paling puncak dari sifat agung, sehingga tidak bisa dibayangkan oleh akal dan tidak bisa diliput oleh mata batin. Atau, Dialah yang memiliki ketinggian, kemuliaan, dan kekuasaan yang tidak membutuhkan pembantu dan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Allah adalah Dzat Yang Mahabesar secara mutlak, lahir dan batin.
-          Al-Aziiz  yang berarti mulia, seperti dalam firman Allah Swt “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Alqur’an ketika Alqur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia“.   (Q. S. Fushshilat (41) : 41)
-          Al-Majiid yang berarti dihormati seperti dalam firman Allah “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Alqur’an yang dihormati‘.  (Q. S. Al-Buruuj ( 85) : 21)
Dan yang lainnya seperti Syifa’ yaitu obat, Rahmah yaitu rahmat, Mau’izhoh yaitu nasihat, Mubarak yaitu yang diberkahi, Basyir yaitu pembawa kabar baik, Nadzir yaitu pembawa kabar buruk, dsb.[17]

c.    Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadits
Hadits dalam islam merupakan sumber hukum kedua dan kedudukannya setingkat lebih rendah daripada Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diwahyukan Allah SWT lewat malaikat Jibril secara lengkap berupa lafadz dan sanadnya sekaligus, sedangkan lafadz hadits bukanlah dari Allah melainkan dari redaksi Nabi sendiri.
Dari segi kekuatan dalilnya, Al-Qur’an adalah mutawatir yang qot’i, sedangkan hadits kebanyakannya khabar ahad yang hanya memiliki dalil zhanni.  Sekalipun ada hadits yang mencapai martabat mutawattir namun jumlahnya hanya sedikit.
            Membaca Al-Qur’an hukumnya adalah ibadah, dan sah membaca ayat-ayatnya di dalam sholat, sementara tidak demikian halnya dengan hadits. Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam mushaf dan menyampaikan kepada umat dengan keadaan aslinya, satu huruf pun tidak berubah atau hilang. Dan mushaf itu terus terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa.
Sedangkan hadits tidak demikian keadaannya, karena hadits qouli hanya sedikit yang mutawatir. Kebanyakan hadits yang mutawatir mengenai amal praktek sehari-hari seperti bilangan rakaat shalat dan tata caranya. Al-Qur’an merupakan hukum dasar yang isinya pada umumnya bersifat mujmal dan mutlak. Sedangkan hadits sebagai ketentuan-ketentuan pelaksanaan (praktisnya).
Hadits juga ikut menciptakan suatu hukum baru yang belum terdapat dalam Al-Qur’an seperti dalam hadits yang artinya :
Hadits dari Abi Hurairoh R.A dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah halal mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara bapak yang perempuan) dan tidak pula antara seorang perempuan dengan bibinya (saudara ibu yang perempuan). (H.R. Bukhari dan Muslim).[18]

3.      Pengertian Wahyu dan cara diturunkannya Wahyu
a.    Pengertian Wahyu

Wahyu terambil dari akar kata waha-yahi-wahyan yang secara harfiah berarti suara, api, kecepatan, bisikan, rahasia, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-Qur’an sendiri yang didalamnya tersebut 77 kali kata wahyu kebanyakan dalam bentuk kata kerja (fi’il) menggunakan kata wahyu untuk beberapa pengertian diantaranya :
a.      Wahyu dalam arti ilham (insting atau intuisi) seperti dalam Surah An-Nahl(16) ayat 68, surah Al-Qhashash(28) ayat 7
b.      Wahyu dalam arti perintah seperti dalam surah Al-Maidah(5) ayat 111
c.      Wahyu dalam arti bisikan atau bujukan seperti dalam Surah Al-An’am ayat 121
d.      Wahyu dalam arti isyarat seperti dalam Surah Maryam(19) ayat 11
Al-Wahyu selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi dalam istilah teknisi sehari-hari lebih banyak digunakan dalam arti ajaran Allah yang disampaikan dengan cepat dan rahasia kepada para nabi dan Rasul.
Menurut Syekh Muhammad Abduh Wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu berasal dari Allah Swt, baik penyampaiannya itu melalui perantara atau tidak.
Pengertian senada , dikemukakan al-Sayyid Rasyid Ridha yang memformulasikan wahyu dengan “Suatu ilmu yang dikhususkan untuk para nabi dengan tidak mereka usahakan dan tidak mereka pelajari. Wahyu ialah suatu pengetahuan yang mereka peroleh dalam dirinya dengan tidak berijtihad (lebih dahulu) yang disertai oleh suatu pengetahuan yang timbul dengan sendirinya dan yakini bahwa yang mencampakkan wahyu kedalam jiwa mereka ialah Allah yang Maha Kuasa. Pendeknya wahyu itu bukanlah suatu pengetahuan yang dapat dicari apalagi direkayasa, melainkan datang dengan sendirinya sebagai pengetahuan yang Allah berikan kepada orang-orang tertentu yang kemudian disebut dengan nabi dan atau Rasul-Nya.[19]

b.    Cara penurunan Wahyu
Menurut beberapa riwayat, wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw adalah bermaca-macam.
Pertama, Mimpi yang benar. Dan inilah wahyu yang pertama kali diterima Rasulullah Saw, sebelum beliau menerima wahyu Al-qur’an seperti diterangkan dalam riwayat : “Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata : Awal wahyu yang dimulai dengannya Rasulullah Saw ialah melalui mimpi yang benar diwaktu tidur, lalu waktu itu beliau tidak melihat dalam mimpinnya itu, kecuali seperti (terangnya) cuaca di waktu pagi”. Wahyu yang dalam bentuk mimpi yang benar ini ternyata tidak hanya terjadi pada masa-masa awal kenabian Muhammmad Saw, akan tetapi juga setelah beliau lama menjadi Nabi.
Kedua, Jibril menghembus (menghunjamkan) wahyu kedalam jiwa Nabi Muhammad Saw, sedangkan nabi sendiri tidak melihat Jibril.
Ketiga, Wahyu itu datang kepada Nabi Saw bagaimana gemerincingannya suara lonceng atau suara lebah dengan amat keranya. Wahyu dalam martabat inilah yang paling sedikit jumlahnya tetapi paling berat dirasakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam menerimanya.
Keempat, Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Saw dengan menjelma sebagai seorang manusia. Diriwayatkan bahwa Jibril pernah datang kepada Nabi dalam rupa Dlihyah Ibn Khalifah, seorang lelaki yang amat tampan rupanya.
Kelima, Jibril datang kepada Nabi dalam bentuk yang asli, kemudian Jibril menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi Saw seperti dalam AlQur’an Surah An-Najm(53) ayat 1-14. Macam penyampaian wahyu yang kelima ini sangat jarang dialami oleh Nabi. Menurut penjelasan Surah An-Najm, Nabi hanya dua kali melihat Jibril a.s dalam rupanya yang asli, yaitu ketika menerima wahyu Al-Qur’an yang pertama di Gua Hira dan ketika melakukan perjalanan malam Isra-Mi’raj di Sidrat al-Muntaha.
Keenam, Allah berbicara secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw secara langsung tanpa melalui malaikat Jibril sebagaimana Allah berbicara langsung kepada Nabi Musa a.s. Nabi Muhammad Saw pernah berbicara langsung dengan Allah Swt pada malam hari di waktu beliau mi’raj seperti tersebut dalam riwayat  peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw yang amat populer.
Bentuk manapun penyampaian wahyu itu kepada para nabi umumnya dan Nabi Muhammad Saw pada khususnya, yang jelas penyampaian wahyu itu bersifat rahasia dalam arti hanya Allah dan Rasul yang tau hakikatnya. Sementara pada sisi yang  lain, kebenaran wahyu itu bisa diuji dan selalu teruji kebenarannya. Dengan kalimat lain, kebenaran mutlak wahyu khususnya wahyu Al-Qur’an, tidak dapat terbantah oleh siapa, kapan, dimanapun, Maha besar Allah dalam kalam-Nya:
Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang bakhil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu sesuatu yang pati lenyap (QS. Al-Isra(17) ayat 81).[20]























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Quran Al-Karim adalah kitab yang oleh Rasul Saw. Dinyatakan sebagai “Tali Allah yang terulur dari langit ke bumi. Didalamnya terdapat berita tentang umat masa lalu, dan situasi masa datang. Siapa yang berpegang dengan petunjuknya dia tidak akan sesat.” Kitab suci ini juga memperkenalkan dirinya sebagai hudan lil al-nas (petunjuk bagi seluruh umat manusia), sekaligus menantang manusia dan jin untuk menyusun semacam Al-Quran. Dari sini kitab suci kita berfungsi sebagai mukjizat (bukti kebenaran), sekaligus kebenaran itu sendiri.
Lima belas abad yang lalu, ayat-ayat Allah itu diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad Saw. Menurut orientalis Gibb, “Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini, yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan yang demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad Saw, yakni Al-Quran.” Bahasanya yang demikian mempesonakan, redaksinya yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah mengantar kalbu masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum, walau nalar sebagian mereka menolaknya.
Pemeliharaan Al-Qur’an diturunkan dari waktu ke waktu, termasuk ketika dunia tulis-menulis mengalami kemajuan dalam hal percetakan seperti buku-buku dan media cetak lainnya, Al-Qur’an pun pertama kali dicetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. “Al-Qur’an ialah Kalam Allah (Wayu Allah) yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul, dengan melalui perantara Malaikat Jibril, ditulis dalam berbagai mushhaf, dinukilkan kepada kita dengan cara tawatur ( mutawatir), yang dianggap ibadah dengan membacanya, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas”.

B.    Saran
Semoga kita tidak hanya memiliki mushaf Al-Quran, tetapi pandai juga membaca, memahami, dan mengamalkan tuntunannya. Aaamiin yaa rabbal ‘aalamiin…..






DAFTAR PUSTAKA

-          T.M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Cet. VII
-          Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers)
-          Al-Shalih, op,. Cit,.
-          Depaptemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Alquran, Jakarta, 1974.
-          Abu Bakar Aceh, Sejarah Al-Qur’an, (Ramdhani 1989)
-          Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an, (Damsyik-Syiria: Maktabah Al-Ghazali. 1401 H/1981 M)
-          Afif ‘Abd al-Fattah Thabbarah, Ruh ad-Din al-Islami, (Beirut-Lubnan: Dar al-‘Ilm li al-malayin t.t)
-          Pengantar Study Al-Qur’an (At-Tibyan) © Mohammad Aly Ash Shabuny Al-256.0.08.12_84_Hr
-          Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurah al-Ashar al-Hadis, Riyad, tt. Hal. 15-16.




[1] T.M. Hasbi Ash-Shidieqi, Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), Cet. VII, H. 112
[2] Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurah al-Ashar al-Hadis, Riyad, tt. Hal. 15-16.
[3] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 45-46
[4] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 46
[5] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 48-50
[6] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 50-53
[7] Al-Shalih, op,. Cit,. Hlm 81
[8] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 56-57
[9] Uraian lebih lanjut tentang Al-Qur’an di berbagai negara, baca antara lain Abu Bakar Aceh, Sejarah Al-Qur’an, (Ramdhani 1989), hal 205-233
[10] Dibeberapa negara yang sempat penulis kunjungi di bulan Ramadhan, beberapa atau sejumlah masjid menyelenggarakan jamaan isya dan tarawih dengan beberapa imam (bergiliran), tetapi dengan melanjutkan bacaan surat yang bersifat konstinu dari surat Al-Baqarah sampai surat An-Nas
[11] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 20-21
[12] Terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu jumlah ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah Swt. Di antaranya ialah al-An’am(6) : 155, Al-Furqan(15):6, Aaz-Zumar(39):1, As-Sajadah(41):2, dan An-Najm(53):4
[13] Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan fi’Ulum Al-Qur’an, (Damsyik-Syiria: Maktabah Al-Ghazali. 1401 H/1981 M), hal 6
[14] Afif ‘Abd al-Fattah Thabbarah, Ruh ad-Din al-Islami, (Beirut-Lubnan: Dar al-‘Ilm li al-malayin t.t), hal 18
[15] Perhatikan antara lain surat Al-An’am(6):19, Al-Dahr/al-Insan(76):23 dan An-Naml(27):6
[16] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 24-25
[17] Pengantar Study Al-Qur’an (At-Tibyan) © Mohammad Aly Ash Shabuny Al-256.0.08.12_84_Hr
[18] http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10147:hubungan-hadits-dengan-al-quran&catid=42:ulumul-hadits&Itemid=387
[19] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 81-83
[20] Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M , Ulumul Qur’an (Depok: Rajawali Pers) Hal. 85-89



Untuk ayat Al-Qur'annya bisa langsung dari Al-Qur'an .
Dipresentasikan oleh : Puput, Zia, As'ad, Susi, Ilham, Lukman, Dimas, Yayah, Wulan, Khoir dan Aan pd tanggal 22 februari 2014 dalam Matakuliah : Pengantar Studi Al-Qur'an